Dalam pandangan islam, dalam diri manusia terdapat beberapa unsur
yang diistimewakan Allah SWT, utamanya terkait dengan keimanan.
Sayangnya, hal itu tidak mendapat perhatian yang semestinya. Sering
dilupakan bahwa perilaku keislaman harus didasari oleh keimanan yang
teguh. Islam adalah perbuatan lahir yang harus berdasar keyakinan dan
keimanan yang kuat . Fitrah manusia mendorongnya berbuat sesuatu
berdasarkan dorongan hati nurani dan dorongan manusiawi lainnya.
Karenanya, tindakan manusia yang tidak memiliki motivasi yang benar pada
akhirnya hanya akan melahirkan dampak buruk. Berpijak dari hal ini,
sudah seharusnyalah iman menjadi landasan seluruh tingkah laku seorang muslim.
Makna Iman
Arti iman dalam tinjauan bahasa adalah percaya, setia, melindungi dan
menempatkan sesuatu ditempat yang aman (pada tempatnya). Terkait dengan
akidah yang dimaksud adalah iman yang bermakna pembenaran terhadap
suatu hal; pembenaran yang hakekatnya tidak dapat dipaksakan
(intimidasi) oleh siapapun, karena iman terletak dalam hati yang hanya
bisa dikenali dan dipahami secara pribadi. Seseorang tidak dapat
mengetahui hakkikat keimanan orang lain, apalgi memaksakannya. Dalam
syara`, iman diartikan sebagai pembenaran terhadap ajaran Baginda Nabi
Muhammad SAW, yakni beriman kepada Allah SWT, para Malaikat, para Nabi,
para Rasul, hari kiamat, qadha dan qadar. Demikian makna iman menurut
hadits Baginda Nabi SAW.
Dalam menjelaskan iman, beberapa ulama Ahlussunnah memiliki pandangan
yang berbeda. Menurut Imam Malik, Imam Syafi`i, Imam Ahmad, Imam
Awza`i, imam Ishaq bin al-Rahawayh, makna iman mencakup keyakinan dalam
hati dan pengakuan dengan lisan bahwa ajaran yang dibawa oleh Baginda
Nabi Muhammad SAW adalah kebenaran (haq) yang kemudian hal itu
ditunjukkan dalam amal perbuatan. Sedang menurut Imam Abu Hanifah,
sebagaiman dikutip dalam kitab al-Thahawi, amal perbuatan tidak termasuk
dalam iman. Menurut beliau; iman adalah pengakuan lisan dan pembenaran
hati. Sementara Imam al-Maturudi berpendapat bahwa; hakikat keimanan
adalah pembenaran hati, sementara pengakuan lisan merupakan pilar
(rukun) tambahan dalam keimanan, bukan merupakan unsur utama. Namun
demikian, beberapa pandangan –yang nampak berbeda- sepakat bahwa; orang
yang tidak meyakini kebenaran Islam adalah orang kafir, sementara orang
yang tidak menjalankan perintah agama adalah fasik. Sekalipun pandangan
mayoritas ahli hadits adalah bahwa; amal perbuatan merupakan perbuatan
dari iman, dengan meninggalkannya tidak berarti seseorang menjadi kafir,
namun ia kehilangan kesempurnaan iman. Dengan demikian substansi
beberapa pendapat diatas adalah sama.
Namun demikian, beriman dalam arti meyakini kebenaran syariat yang
dibawa Baginda Nabi Muhammad SAW adalah sesuatu yang bersifat qalbiyah
atau batin yang tidak dapat diketahui oleh sarana lahir. Untuk
mengetahuinya diperlukan sarana yang membuatnya dapat dijangkau. Hal itu
adalah mengucapkan kalimat syahadah yang kemudian dilanjutkan dengan
pengamalan ajaran islam. Kesempurnaan iman seseorang diukur melalui
keteguhan hati, ucapan dan amal perbuatan yang sesuai dengan ajaran yang
disampaikan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW.
Perbedaan dalam memandang tiga komponen keimanan (pembenaran dengan
hati, ungkapan dengan lisan dan pembuktian dengan pengamalan) berakibat
perbedaan dalam memandang keselamatan seseorang diakhirat. Imam
Al-Ghazali menjelaskan secara baik dengan penjelasan secara bertingkat:
- Orang yang melakukan seluruh pilar keimanan, semua ulama sepakat bahwa diakhirat kelak ia akan memperoleh Surga.
- Seseorang yang membenarkan dengan hati dan mengucapkan dengan lisan, namun hanya menjalankan sebagian perintah agama dan hanya menjauhi sebagian larangannya. Menurut Muktazilah, jika dia melakukan dosa besar berarti ia telah keluar dari keimanannya, berada diantara mukmin dan kafir. Bukan golongan beriman juga bukan golongan kafir dan diakhirat kelak dia berada ditengah-tengah antara dua posisi, antara surga dan neraka. Tapi menurut Ahlussunnah Wal jamaah; keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada Allah SWT. Manusia tidak mempunyai hak untuk menentukannya.
- Golongan yang membenarkan dalam hati dan bersaksi dengan lisan, akan tetapi sama sekali tidak menjalankan perintah agama. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Abu Thalib Al- Makki mengatakan bahwa; amal perbuatan termasuk syarat iman. Dengan demikian tidak ada iman tanpa amal, sebab amal adalah komponen iman. Pendapat Abu Thalib Al-Makki dilandasi oleh ayat Al-Quran surat Al-Buruj ayat 11: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang shalih bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; itulah keberuntungan yang besar.”. Imam Al-Ghazali justru berkomentar bahwa; ayat ini menunjukkan pembedaan iman dan amal shalih. Dalam ayat ini, iman dan amal diposisikan dalam kerangka makna yang berbeda. Pendapat yang lain menyatakan bahwa; amal perbuatan bukan bagian integral dari iman, melainkan penyempurna saja. Artinya, seseorang yang beriman tapi tidak beramal, keputusannya kembali pada kebijakan Allah SWT diakhirat kelak. Sebab, menurut pendapat ini, jika amal dikategorikan sebagai bagian integral dari iman, tentu seseorang yang tidak beramal dinilai sebagai orang kafir dan pelakunya berada di Neraka selama-lamanya. Pendapat ini adalah pandangan mayoritas ulama Ahlussunnah.
- Orang yang membenarkan dalam hati, namun sebelum sempat mengakui dengan ucapan ia terlebih dulu meninggal dunia. Menurut Ahlussunnah Wal jamaah, dia mati dalam keadaan beriman disisi Allah SWT berdasarkan firman Allah SWT dalam hadits qudsi, “Akan keluar dari Neraka seseorang yang dalam hatinya masih tersimpan iman (meski) seberat semut”. Sementara kelompok kedua mengatakn bahwa; dia bukan termasuk orang beriman dan akan kekal selamanya di Neraka. Mereka berpandangan bahwa pengakuan dengan ucapan merupakan syarat mutlak bagi keimanan seseorang.
- Orang yang membenarkan (beriman) tetapi menunda pengucapan Syahadat. Padahal dia tahu bahwa Syahadat adalah syarat seseorang dapat disebut seorang muslim. Orang seperti ini oleh Ahlussunnah disamakan dengan orang yang meninggalkan shalat. Di akhirat akan mendapat siksa walaupun tidak selamanya. Sedang Murji`ah (golongan yang berpendapat bahwa; perbuatan durhaka tidak memberi pengaruh apapun apabila seseorang beriman. Sebagaimana ketaatan tidak berguna bila yang melakukan orang kafir), berpandangan bahwa; orang seperti itu tidak akan masuk Neraka, tapi dipastikan masuk Surga. Pandangan ini berbeda dengan pandangan mayoritas umat islam.
- Seseorang yang mengucapkan syahadat, namun sebenarnya hatinya mengingkari. Orang yang melakukan tindakan ini diancam dengan Neraka, karena sebenarnya ia tergolong orang kafir, walau selama hidupnya dia diakui sebagai seorang muslim –karena telah mengucap dua kalimat syahadat-, namun diakhirat kelak ia akan kekal di jurang Jahannam. Orang yang memiliki karateristik semacam ini dikenal sebagai orang Munafik. Yakni seseorang yang menggunakan ungkapan syahadat untuk memperoleh keamanan duniawi semata.
Wallahu A`lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar