Bis………………………… kedudukannya…………. ubun-ubun.
Millah………………………kedudukannya….. ………rasa.
Al-Rahman-al-Rahim…….kedudukannya……………penglihatan (lahir batin).
Al-hamdu…………………kedudukannya………… …hidupmu (manusia).
Lillahi………………………kedudukannya…. ……….cahaya.
Rabbil-‘alamin…………….kedudukannya…………..n yawa dan napas.
Al-Rahman al-Rahim…….kedudukannya……………leher dan jakun.
Maliki……………………..kedudukannya…… ………dada.
Yaumiddin………………..kedudukannya……… ……jantung (hati).
Iyyaka……………………kedudukannya…….. …….hidung.
Na’budu…………………..kedudukannya…….. …….perut.
Waiyyaka nasta’in………kedudukannya…………….dua bahu.
Ihdinash………………….kedudukannya…….. ……..sentil (pita suara).
Shiratal…………………..kedudukannya……. ………lidah.
Mustaqim…………………kedudukannya……… ……tulang punggung (ula-ula).
Shiratalladzina…………..kedudukannya……… …….dua ketiak.
An’amta…………………..kedudukannya…….. ……..budi manusia.
‘alaihim……………………kedudukannya…… ………tiangnya (pancering) hati.
Ghairil…………………….kedudukannya…… ……….bungkusnya nurani.
Maghdlubi………………..kedudukannya……… …….rempela/empedu.
‘alaihim……………………kedudukannya…… ……….dua betis.
Waladhdhallin……………kedudukannya………. ……mulut dan perut (panedha).
Amin………………………kedudukannya……. ………penerima.
Millah………………………kedudukannya….. ………rasa.
Al-Rahman-al-Rahim…….kedudukannya……………penglihatan (lahir batin).
Al-hamdu…………………kedudukannya………… …hidupmu (manusia).
Lillahi………………………kedudukannya…. ……….cahaya.
Rabbil-‘alamin…………….kedudukannya…………..n yawa dan napas.
Al-Rahman al-Rahim…….kedudukannya……………leher dan jakun.
Maliki……………………..kedudukannya…… ………dada.
Yaumiddin………………..kedudukannya……… ……jantung (hati).
Iyyaka……………………kedudukannya…….. …….hidung.
Na’budu…………………..kedudukannya…….. …….perut.
Waiyyaka nasta’in………kedudukannya…………….dua bahu.
Ihdinash………………….kedudukannya…….. ……..sentil (pita suara).
Shiratal…………………..kedudukannya……. ………lidah.
Mustaqim…………………kedudukannya……… ……tulang punggung (ula-ula).
Shiratalladzina…………..kedudukannya……… …….dua ketiak.
An’amta…………………..kedudukannya…….. ……..budi manusia.
‘alaihim……………………kedudukannya…… ………tiangnya (pancering) hati.
Ghairil…………………….kedudukannya…… ……….bungkusnya nurani.
Maghdlubi………………..kedudukannya……… …….rempela/empedu.
‘alaihim……………………kedudukannya…… ……….dua betis.
Waladhdhallin……………kedudukannya………. ……mulut dan perut (panedha).
Amin………………………kedudukannya……. ………penerima.
Tafsir mistik Syekh
Siti Jenar tetap mengacu kepada Manunggaling Kawula-Gusti, sehingga baik
badan wadag manusia sampai kedalaman rohaninya dilambangkan sebagai
tempat masing-masing dari lafal surat al-Fatihah. Tentu saja pemahaman
itu disertai dengan penghayatan fungsi tubuh seharusnya masing-masing,
dikaitkan dengan makna surahi dalam masing-masing lafadz, maka akan
ditemukan kebenaran tafsir tersebut, apalagi kalau sudah disertai dengan
pengalaman rohani/spiritual yang sering dialami.
Konteks pemahaman yang
diajukan Syekh Siti Jenar adalah, bahwa al-Qur’an merupakan “kalam” yang
berarti pembicaraan. Jadi sifatnya adalah hidup dan aktif. Maka taksir
mistik Syekh Siti Jenar bukan semata harfiyah, namun di samping tafsir
kalimat, Syekh Siti Jenar menghadirkan tafsir mistik yang bercorak
menggali makna di balik simbol yang ada (dalam hal ini huruf, kalimat
dan makna historis).
EMPAT PULUH SEMBILAN
“Di di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yang cepat juga akan menjadi busuk dan bercampur tanah…Ketahuilah juga, apa yang dinamakan kawula-Gusti tidak berkaitan dengan seorang manusia biasa seperti yang lain-lain. Kawula dan Gusti itu sudah ada dalam diriku, siang malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-Gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam Ada sendiri. Bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dengan tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera. Itu hanya impian yang sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan cepat lenyap. Gilalah orang yang terikat padanya. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.”.
“Di di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yang cepat juga akan menjadi busuk dan bercampur tanah…Ketahuilah juga, apa yang dinamakan kawula-Gusti tidak berkaitan dengan seorang manusia biasa seperti yang lain-lain. Kawula dan Gusti itu sudah ada dalam diriku, siang malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-Gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam Ada sendiri. Bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dengan tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera. Itu hanya impian yang sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan cepat lenyap. Gilalah orang yang terikat padanya. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.”
Syekh Siti Jenar
menyatakan secara tegas bahwa dirinya sebagai Tuhan, ia memiliki hidup
dan Ada dalam dirinya sendiri, serta menjadi Pangeran bagi seluruh isi
dunia. Sehingga didapatkan konsistensi antara keyakinan hati, pengalaman
keagamaan, dan sikap perilaku dzahirnya. Juga ditekankan satu satu hal
yang selalu tampil dalam setiap ajaran Syekh Siti Jenar. Yakni pendapat
bahwa manusia selama masih berada di dunia ini, sebetulnya mati, baru
sesudah ia dibebaskan dari dunia ini, akan dialami kehidupan sejati.
Kehidupan ini sebenarnya kematian ketika manusia dilahirkan. Badan hanya
sesosok mayat karena ditakdirkan untuk sirna. (bandingkan dengan
Zotmulder; 364). Dunia ini adalah alam kubur, di mana roh suci terjerat
badan wadag yang dipenuhi oleh berbagai goda-nikmat yang menguburkan
kebenaran sejati, dan berusaha mengubur kesadaran Ingsun Sejati.
LIMA PULUH
“Syekh Siti Jenar berpendapat dan mengganggap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat Rasul yang sejati, sifat Muhammad yang kudus. Ia berpendapat juga, bahwa hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman, yang jika sudah diminta oleh empunya akan menjadi tanah dan membusuk, hancur-lebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup.”
“Syekh Siti Jenar berpendapat dan mengganggap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat Rasul yang sejati, sifat Muhammad yang kudus. Ia berpendapat juga, bahwa hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman, yang jika sudah diminta oleh empunya akan menjadi tanah dan membusuk, hancur-lebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup.”
“Demikian pula budi,
pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak
dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih,
bingung, lupa tidur, dan sering kali tidak jujur. Akal itu pula yang
siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain.
Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk
akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan
citranya.” .
“Kalau kamu ingin berjumpa dengan dia,
saya pastikan kamu tidak akan menemuinya, sebab Kyai Ageng berbadan
sukma, mengheningkan puja ghaib. Yang dipuja dan yang memuja, yang
dilihat dan melihat yang bersabda sedang bertutur, gerak dan diam
bersatu tunggal. Nah, buyung yang sedang berkunjung, lebih baik kembali
saja.” .
Ini adalah pandangan
Syekh Siti Jenar tentang psikologi dan pengetahuan. Menurut Syekh Siti
Jenar, sumber ilmu pengetahuan itu terdiri atas tiga macam; pancaindera,
akal-nalar, dan intuisi (wahyu). Hanya saja pancaindera dan nalar tidak
bisa dijadikan pedoman pasti. Hanya intuisi yang berasal dari orang
yang sudah manunggallah yang betul-betul diandalkan sebagai pengetahuan.
Oleh karenanya,
konsistensi dengan pendapat tersebut, Syekh Siti Jenar menegaskan bahwa
baginya Muhammad bukan semata sosok utusan fisik, yang hanya memberikan
ajaran Islam secara gelondongan, dan setelah wafat tidak memiliki fungsi
apa-apa, kecuali hanya untuk diimani.
Justru Syekh Siti Jenar
menjadikan Pribadi Rasulullah Muhammad sebagai roh yang bersifat aktif.
Dalam memahami konsep syafa’at, Syekh Siti Jenar berpandangan bahwa
syafa’at tidak bisa dinanti dan diharap kehadirannya kelak di kemudian
hari. Justru syafa’at Muhammad hanya terjadi bagi orang yang menjadikan
dirinya Muhammad, me-Muhammad-kan diri dengan keseluruhan sifat dan
asmanya. Rahasia asma Allah dan asma Rasulullah adalah bukan hanya untuk
diimani, tetapi harus merasuk dalam Pribadi, menyatu-tubuh dan rasa.
Itulah perlunya Nur Muhammad, untuk menyatu cahaya dengan Sang Cahaya.
Dan itu semua bisa terjadi dalam proses Manunggaling Kawula-Gusti.
LIMA PULUH SATU
“Bukan kehendak, angan-angan, bukan ingatan, pikir atau niat, hawa nafsu pun bukan, bukan juga kekosongan atau kehampaan. Penampilanku bagai mayat baru, andai menjadi gusti jasadku dapat busuk bercampur debu, napasku terhembus ke segala penjuru dunia, tanah, api, air, kembali sebagai asalnya, yaitu kembali menjadi baru. Syekh Siti Jenar belum mau menuruti perintah sultan. Hal ini disebabkan karena bumi, langit, dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia. Manusialah yang memberikan nama. Buktinya sebelum saya lahir tidak ada.
“Bukan kehendak, angan-angan, bukan ingatan, pikir atau niat, hawa nafsu pun bukan, bukan juga kekosongan atau kehampaan. Penampilanku bagai mayat baru, andai menjadi gusti jasadku dapat busuk bercampur debu, napasku terhembus ke segala penjuru dunia, tanah, api, air, kembali sebagai asalnya, yaitu kembali menjadi baru. Syekh Siti Jenar belum mau menuruti perintah sultan. Hal ini disebabkan karena bumi, langit, dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia. Manusialah yang memberikan nama. Buktinya sebelum saya lahir tidak ada.
Syekh Siti Jenar
menghubungkan antara alam yang diciptakan Allah, dengan konteks
kebebasan dan kemerdekaan manusia. Kebebasan alam mencerminkan kebebasan
manusia. Segala sesuatu harus berlangsung dan mengalami hal yang
natural (alami), tanpa rekayasa, tanpa pemaksaan iradah dan qudrah. Maka
ketidakmauannya memenuhi penggilan sultan, dikarenakan dirinya hanyalah
milik Dirinya Sendiri. Jadi seluruh manusia masing-masing mamiliki hak
mengelola alam. Alam bukan milik negara atau raja, namun milik manusia
bersama. Maka setiap orang harus memiliki dan diberi hak kepemilikan
atas alam. Ada yang harus dimiliki secara privat dan ada juga yang harus
dimiliki secara kolektif.
Dari wejangan Syekh
Siti Jenar tersebut, juga diketahui bahwa hakikat seluruh alam semesta
adalah tajaliyat Tuhan (penampakan wajah Tuhan). Adapun mengenai alam
yang kemudian memiliki nama, bukanlah nama yang sesungguhnya, sebab
segala sesuatu yang ada di bumi ini, manusialah yang memberi nama,
termasuk nama Tuhanpun, dalam pandangan Syekh Siti Jenar, diberikan oleh
manusia. Dan nama-nama itu seluruhnya akan kembali kepada Sang Pemilik
Nama yang sesungguhnya. . Maka memang nama
itu perlu, namun jangan sampai menjebak manusia hanya untuk
memperdebatkan nama.
Tarekat dan Jalan Mistik Syekh Siti Jenar
LIMA PULUH DUA
“Adapun asalnya kehidupan itu, berdasar kitab Ma’rifat al’iman, seperti dijelaskan di bawah ini, terbebani 16 macam titipan;
Yang dari Muhammad : roh, napas.
Yang dari Malaikat : budi, iman.
Yang dari Tuhan : pendengaran, penciuman, pengucapan, penglihatan.
Yang dari Ibu : kulit, daging, darah, bulu.
Yang dari Bapak : tulang, sungsum, otot, otak.
“Adapun asalnya kehidupan itu, berdasar kitab Ma’rifat al’iman, seperti dijelaskan di bawah ini, terbebani 16 macam titipan;
Yang dari Muhammad : roh, napas.
Yang dari Malaikat : budi, iman.
Yang dari Tuhan : pendengaran, penciuman, pengucapan, penglihatan.
Yang dari Ibu : kulit, daging, darah, bulu.
Yang dari Bapak : tulang, sungsum, otot, otak.
Inilah maksud dari
lafal “kulusyaun halikun ilawajahi”, maksudnya semua itu akan rusak
kecuali dzat Allah yang tidak rusak. .
Kitab Ma’rifat al-Iman
adalah karya dari Maulana Ibrahim al-Ghazi, al-Samarqandi, yang menjadi
salah satu sumber bacaan Syekh Siti Jenar.
Kalimat “kulusyaun
halikun ilawajahi” lebih tepatnya berbunyi “kullu syai-in halikun illa
wajhahu” (Segala sesuatu itu pasti hancur musnah, kecuali wajah-Nya
(penampakan wajah Allah)) [QS : Al-Qashashash / 28:88]. Dari kalimat
inilah Syekh Siti Jenar mengungkapkan pendapatnya, bahwa badan wadag
akan hancur mengikuti asalnya, tanah. Sedangkan Ingsun Sejati (Jiwa)
mengikuti “illa wajhahu”, (kecuali wajah-Nya). Ini juga menjadi salah
satu inti dan kunci dalam memahami teori kemanunggalan Syekh Siti Jenar.
Maka kata wajhahu di sini diberikan makna Dzatullah.
Bagi Syekh Siti Jenar,
antara Nur Muhammad, Malaikat, dan Tuhan, bukanlah unsur yang saling
berdiri sendiri-sendiri sebagaimana umumnya dipahami manusia. Nur
Muhammad dan malaikat adalah termasuk dalam Ingsun Sejati. Ini
berhubungan erat dengan pernyataan Allah, bahwa segala sesuatu yang
diberikan kepada manusia (seperti pendengaran, penglihatan dan
sebagainya) akan dimintakan pertanggungjawabannya kepada Allah,
maksudnya adalah apakah dengan alat titipan itu, manusia bisa manunggal
dengan Allah atau tidak. Sedangkan proses kejadian manusia yang melalui
orangtua, adalah sarana pembuatan jasad fisik, yang di alam kematian
dunia, roh berada dalam penjara badan wadag tersebut.
LIMA PULUH TIGA
“Kehilangan adalah kepedihan. Berbahagialah engkau, wahai musafir papa, yang tidak memiliki apa-apa. Sebab, engkau yang tidak memiliki apa-apa maka tidak pernah kehilangan apa-apa.”.
“Kehilangan adalah kepedihan. Berbahagialah engkau, wahai musafir papa, yang tidak memiliki apa-apa. Sebab, engkau yang tidak memiliki apa-apa maka tidak pernah kehilangan apa-apa.”
Hakikat Zuhud bukanlah
meninggalkan atau mengasingkan diri dari dunia. Zuhud adalah perasaan
tidak memiliki apa-apa terhadap makhluk lain, sebab teologi kepemilikan
itu hakikatnya tunggal. Manusia baru memiliki segalanya ketika ia telah
berhasil Manunggal dengan Gustinya, sebab Gusti adalah Yang Maha Kuasa,
otomatis Yang Maha Memiliki. Sehingga dalam menjalani kehidupan di dunia
ini, sikap yang realistis adalah perasaan tidak memiliki, karena
sebatas itu antara makhluk (manusia) dengan makhluk lain (apa pun yang
bisa ‘dimiliki’ manusia) tidak bisa saling memiliki dan dimiliki. Karena
semua itu merupakan aspek dari ketunggalan.
Orang yang masih selalu merasa ‘memiliki’
akan makhluk lain, pasti tidak akan berhasil menjadi salik (penempuh
jalan spiritual) yang akan sampai ke tujuan sejatinya, yakni Allah Yang
Maha Tunggal, karena memang ia belum mampu untuk manunggal. Nah, zuhud
dalam pandangan Syekh Siti Jenar adalah menjadi satu maqamat menuju
kemanunggalan dan menjadi salah satu poros keihsanan dan keikhlasan.
LIMA PULUH EMPAT
“Jika engkau kagum kepada seseorang yang engkau anggap Wali Allah, janganlah engkau terpancang pada kekaguman akan sosok dan perilaku yang diperbuatnya. Sebab saat seseorang berada pada tahap kewalian maka keberadaan dirinya sebagai manusia telah lenyap, tenggelam ke dalam al-Waly. Kewalian bersifat terus-menerus, hanya saja saat Sang Wali tenggelam dalam al-Waly. Berlangsungnya Cuma beberapa saat. Dan saat tenggelam ke dalam al-Waly itulah sang wali benar-benar menjadi pengejawantahan al-Waly. Lantaran itu, sang wali memiliki kekeramatan yang tidak bisa diukur dengan akal pikiran manusia, di mana karamah itu sendiri pada hakikatnya adalah pengejawantahan dari kekuasaan al-Waly. Dan lantaran itu pula yang dinamakan karamah adalah sesuatu di luar kehendak sang wali pribadi. Semua itu semata-mata kehendak-Nya mutlak.
“Jika engkau kagum kepada seseorang yang engkau anggap Wali Allah, janganlah engkau terpancang pada kekaguman akan sosok dan perilaku yang diperbuatnya. Sebab saat seseorang berada pada tahap kewalian maka keberadaan dirinya sebagai manusia telah lenyap, tenggelam ke dalam al-Waly. Kewalian bersifat terus-menerus, hanya saja saat Sang Wali tenggelam dalam al-Waly. Berlangsungnya Cuma beberapa saat. Dan saat tenggelam ke dalam al-Waly itulah sang wali benar-benar menjadi pengejawantahan al-Waly. Lantaran itu, sang wali memiliki kekeramatan yang tidak bisa diukur dengan akal pikiran manusia, di mana karamah itu sendiri pada hakikatnya adalah pengejawantahan dari kekuasaan al-Waly. Dan lantaran itu pula yang dinamakan karamah adalah sesuatu di luar kehendak sang wali pribadi. Semua itu semata-mata kehendak-Nya mutlak.
Kekasih Allah itu
ibarat cahaya. Jika ia berada di kejauhan, kelihatan sekali terangnya.
Namun jika cahaya itu di dekatkan ke mata, mata kita akan silau dan
tidak bisa melihatnya dengan jelas. Semakin dekat cahaya itu ke mata
maka kita akan semakin buta tidak bisa melihatnya. Engkau bisa melihat
cahaya kewalian pada diri seseorang yang jauh darimu. Namun, engkau
tidak bisa melihat cahaya kewalian yang memancar dari diri orang-orang
yang terdekat denganmu.” .
Doktrin kewalian Syekh
Siti Jenar sangat berbeda dengan doktrin kewalian orang Islam pada
umumnya. Bagi Syekh Siti Jenar, yang menentukan seseorang itu wali atau
bukan hanyalah pemilik nama al-Waliy, yaitu Allah. Sehingga seorang wali
tidak akan pernah peduli dengan berbagai tetek-bengek pandangan manusia
dan makhluk lain terhadapnya. Demikian pula terhadap orang yang
memandang kewalian seseorang.
Syekh Siti Jenar
menasihatkan agar jangan terkagum-kagum dan menetukan kewalian hanya
karena perilaku serta kewajiban yang muncul darinya. Yang harus diingat
adalah bahwa para auliya’ Allah adalah pengejawantahan dari Allah
al-Waliy. Sehingga apapun yang lahir dari wali tersebut, bukanlah
perilaku manusia dalam wadagnya, namun itu adalah perbuatan Allah.
Seorang wali dalam pandangan Syekh Siti Jenar tidak lain adalah manusia
yang manunggal dengan al-Waliy dan itu berlangsung terus-menerus. Hanya
saja perlu diingat, setiap tajalliyat-Nya adalah bagian dari si Wali
tersebut, namun tidak semua sisi dan perbuatan si wali adalah perbuatan
atau af’al al-Waliy.
Oleh karena itu sampai
di sini, kita harus menyikapi dengan kritis terhadap sebagian
naskah-naskah Jawa Tengahan yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar
pernah mengungkapkan pernyataan, “di sini tidak ada Syekh Siti Jenar,
yang ada hanya Allah,” serta ungkapan sebaliknya “di sini tidak ada
Allah, yang ada hanya Siti Jenar.” Kisah yang berhubungan dengan
pernyataan tersebut, hanya anekdot atau kisah konyol dan bukan kisah
yang sebenarnya. Dan itu merupakan bentuk penggambaran ajaran
anunggaling Kawula Gusti yang salah kaprah. Pernyataan pertama “di sini
tidak ada Syekh Siti Jenar, yang ada hanya Allah,” memang benar adanya.
Namun pernyataan kedua, “di sini tidak ada Allah, yang ada hanya Siti
Jenar,” tidak bisa dianggap benar, dan jelas keliru.
Teologi Manunggaling Kawula Gusti
bukanlah teologi Fir’aun yang menganggap kedirian-insaniyahnya menjadi
Tuhan, sekaligus dengan keberadaan manusia sebagai makhluk di dunia ini.
Jadi kita harus ekstra hati-hati dalam memilah dan memilih
naskah-naskah tersebut., sebab banyak juga pernyataan yang disandarkan
kepada Syekh Siti Jenar, namun nyatanya itu bukan berasal dari Syekh
Siti Jenar.
Ajaran Syekh Siti Jenar menurut Ki Lonthang Semarang
“Kalau menurut wejangan
guru saya, orang sembahyang itu siang malam tiada putusnya ia lakukan.
Hai Bonang ketahuilah keluarnya napasku menjadi puji. Maksudnya napasku
menjadi shalat. Karena tutur penglihatan dan pendengaran disuruh
melepaskan dari angan-angan, jadi kalau kamu shalat masih mengiaskan
kelanggengan dalam alam kematian ini, maka sesungguhnyalah kamu ini
orang kafir.”
“Jika kamu bijaksana
mengatur tindakanmu, tanpa guna orang menyembah Rabbu’l ‘alamien, Tuhan
sekalian alam, sebab di dunia ini tidak ada Hyang Agung. Karena orang
melekat pada bangkai, meskipun dicat dilapisi emas, akhirnya membusuk
juga, hancur lebur bercampur dengan tanah. Bagaimana saya dapat
bersolek?”
“Menurut wejangan Syekh
Siti Jenar, orang sembahyang tidak memperoleh apa-apa, baik di sana,
maupun di sini. Nyatanya kalau ia sakit, ia menjadi bingung. Jika tidur
seperti budak, disembarang tempat. Jika ia miskin, mohon agar menjadi
kaya tidak dikabulkan. Apalagi bila ia sakaratul maut, matanya
membelalak tiada kerohan. Karena ia segan meninggalkan dunia ini.
Demikianlah wejangan guru saya yang bijaksana.”
“Umumnya santri dungu,
hanya berdzikir dalam keadaan kosong dari kenyataan yang sesungguhnya,
membayangkan adanya rupa Zat u’llahu, kemudian ada rupa dan inilah yang
ia anggap Hyang Widi.”
“Apakah ini bukan
barang sesat? Buktinya kalau ia memohon untuk menjadi orang kaya tidak
diluluskan. Sekalipun demikian saya disuruh meluhurkan Dzat’llahu yang
rupanya ia lihat waktu ia berdzikir, mengikuti syara’ sebagai syari’at,
jika Jum’at ke mesjid berlenggang mengangguk-angguk, memuji Pangeran
yang sunyi senyap, bukan yang di sana, bukan yang di sini.”
“Saya disuruh makbudullah, meluhurkan Tuhan itu, serta akan ditipu diangkat menjadi Wali, berkeliling menjual tutur, sambil mencari nasi gurih dengan lauknya ayam betina berbulu putih yang dimasak bumbu rujak pada selamatan meluhurkan Rasulullah. Ia makan sangat lahap, meskipun lagaknya seperti orang yang tidak suka makan. Hal itulah gambaran raja penipu!”
“Bonang, jangan berbuat yang demikian. Ketahuilah dunia ini alam kematian, sedang akhirat alam kehidupan yang langgeng tiada mengenal waktu. Barang siapa senang pada alam kematian ini, ia terjerat goda, terlekat pada surga dan neraka, menemui panas, sedih, haus, dan lapar”..
“Saya disuruh makbudullah, meluhurkan Tuhan itu, serta akan ditipu diangkat menjadi Wali, berkeliling menjual tutur, sambil mencari nasi gurih dengan lauknya ayam betina berbulu putih yang dimasak bumbu rujak pada selamatan meluhurkan Rasulullah. Ia makan sangat lahap, meskipun lagaknya seperti orang yang tidak suka makan. Hal itulah gambaran raja penipu!”
“Bonang, jangan berbuat yang demikian. Ketahuilah dunia ini alam kematian, sedang akhirat alam kehidupan yang langgeng tiada mengenal waktu. Barang siapa senang pada alam kematian ini, ia terjerat goda, terlekat pada surga dan neraka, menemui panas, sedih, haus, dan lapar”.
“Tiada usah merasa
enggan menerima petuahku yang tiga buah jumlahnya. Pertama janganlah
hendaknya kamu menjalankan penipuan yang keterlaluan, agar supaya kamu
tidak ditertawakan orang di kelak kemudian hari. Yang kedua, jangan kamu
merusak barang-barang peninggalan purba, misalnya : lontar naskah
sastra yang indah-indah, tulisan dan gambar-gambar pada batu candhi.
Demikian pula kayu dan batu yang merupakan peninggalan kebudayaan zaman
dulu, jangan kamu hancur-leburkan. Ketahuilah bagi suku Jawa sifat-sifat
Hindu-Budha tidak dapat dihapus. Yang ketiga, jika kamu setuju, mesjid
ini sebaiknya kamu buang saja musnahkan dengan api. Saya berbelas
kasihan kepada keturunanmu, sebab tidak urung mereka menuruti kamu,
mabuk do’a, tersesat mabuk-tobat, berangan-angan lam yakunil.”
“…orang menyembah nama
yang tiada wujudnya, harus dicegah. Maka dari itu jangan kamu
terus-teruskan, sebab itu palsu.” .
Khotbah Perpisahan Sunan Panggung
“Banyak orang yang
gemar dengan ksejatian, tapi karena belum pernah berguru maka semua itu
dipahami dalam konteks dualitas. Yang satu dianggap wjud lain.
Sesungguhnya orang yng melihat sepeti ini akan kecewa. Apalagi yang
ditemui akan menjadi hilang. Walaupun dia berkeliling mencari, ia tidak
akan menemukan yang dicari. Padahal yang dicari, sesungguhnya telah
ditimang dan dipegang, bahkan sampai keberatan membawanya. Dan karena
belum tahu kesejatiannya, ciptanya tanpa guru menyepelekan tulisan dan
kesejatian Tuhan.”
“Walaupun dituturkan sampai capai,
ditunjukkan jalannya, sesungguhnya dia tidak memahaminya karena ia hanya
sibuk menghitung dosa besar dan kecil yg diketahuinya. Tentang hal
kufur kafir yang ditolaknya itu, bukti bahwa ia adalah orang yang masih
mentah pengetahuannya. Walaupun tidak pernah lupa sembahyang, puasanya
dapat dibangga-banggakan tanpa sela, tapi ia terjebak menaati yang sudah
ditentukan Tuhan.
Sembah puji dan puasa
yang ditekuni, membuat orang justru lupa akan sangkan paran (asal dan
tujuan). Karena itu, ia lebih konsentrasi melihat dosa besar-kecil yang
dikhawatirkan, dan ajaran kufur kafir yang dijauhi justru membuat
bingung sikapnya. Tidak ada dulu dinulu. Tidak merasa, tidak menyentuh.
Tidak saling mendekati, sehingga buta orang itu. Takdir dianggap tidak
akan terjadi, salah-salah menganggap ada dualisme antara Maha Pencipta
dan Maha Memelihara.
Jika aku punya pemikiran yang demikian, lebih baik aku mati saja ketika masih bayi. Tidak terhitung tidak berfikir, banyak orang yang merasa menggeluti tata lafal, mengkaji sembahyang dan berletih-letih berpuasa. Semua itu dianggap akan mampu mengantarkan. Padahal salah-salah menjadikan celaka dan bahkan banyak yang menjadi berhala.”
Jika aku punya pemikiran yang demikian, lebih baik aku mati saja ketika masih bayi. Tidak terhitung tidak berfikir, banyak orang yang merasa menggeluti tata lafal, mengkaji sembahyang dan berletih-letih berpuasa. Semua itu dianggap akan mampu mengantarkan. Padahal salah-salah menjadikan celaka dan bahkan banyak yang menjadi berhala.”
“Pemikiran saya sejak
kecil, Islam tidak dengan sembahyang, Islam tidak dengan pakaian, Islam
tidak dengan waktu, Islam tidak dengan baju dan Islam tidak dengan
bertapa. Dalam pemikiran saya, yang dimaksud Islam tidak karena menolak
atau menerima yang halal atau haram.
Adapun yang dimaksud orang Islam itu, mulia wisesa jati, kemuliaan selamat sempurna sampai tempat tinggalnya besok. Seperti bulu selembar atau tepung segelintir, hangus tak tersisa. Kehidupan di dunia seperti itu keberadaannya.”
Adapun yang dimaksud orang Islam itu, mulia wisesa jati, kemuliaan selamat sempurna sampai tempat tinggalnya besok. Seperti bulu selembar atau tepung segelintir, hangus tak tersisa. Kehidupan di dunia seperti itu keberadaannya.”
“Manusia, sebelum tahu
makna Alif, akan menjadi berantakan….Alif menjadi panutan sebab uintuk
semua huruf, alif adalah yang pertama. Alif itu badan idlafi sebagai
anugerah. Dua-duanya bukan Allah. Alif merupakan takdir, sedangkan yang
tidak bersatu namanya alif-lapat. Sebelum itu jagat ciptaan-Nya sudah
ada. Lalu alif menjadi gantinya, yang memiliki wujud tunggal. Ya,
tunggal rasa, tunggal wujud. Ketunggalan ini harus dijaga betul sebab
tidak ada yang mengaku tingkahnya. ALif wujud adalah Yang Agung. Ia
menjadi wujud mutlak yang merupakan kesejatian rasa. Jenisnya ada lima,
yaitu alif mata, wajah, niat jati, iman, syari’at.”
“Allah itu
penjabarannya adalah dzat Yang Maha Mulia dan Maha Suci. Allah itu
sebenarnya tidak ada lain, karena kamu itu Allah. Dan Allah semua yang
ada ini, lahir batin kamu ini semua tulisan merupakan ganti dari alif,
Allah itulah adanya.”
“Alif penjabarannya
adalah permulaan pada penglihatan, melihat yang benar-benar melihat.
Adapun melihat Dzat itu, merupakan cermin ketunggalan sejati menurun
kepada kesejatianmu. Cahaya yang keluar, kepada otak keberadaan kita di
dunia ini merupakan cahaya yang terang benderang, itu memiliki seratus
dua puluh tujuh kejadian. Menjadi penglihatan dan pendengaran, napas
yang tunggal, napas kehidupan yang dinamakan Panji. Panji bayangan dzat
yang mewujud pada kebanyakkan imam. Semua menyebut dzikir sejati, laa
ilaaha illallah.” .
Kematian di Mata Sunan Geseng
“Banyak orang yang
salah menemui ajalnya. Mereka tersesat tidak menentu arahnya,
pancaindera masih tetap siap, segala kesenangan sudah ditahan, napas
sudah tergulung dan angan-angan sudah diikhlaskan, tetapi ketika lepas
tirta nirmayanya belum mau. Maka ia menemukan yang serba indah.”
“Dan ia dianggap
manusia yang luar biasa. Padahal sesungguhnya ia adalah orang yang
tenggelam dalam angan-angan yang menyesatkan dan tidak nyata. Budi dan
daya hidupnya tidak mau mati, ia masih senang di dunia ini dengan segala
sesuatu yang hidup, masih senang ia akan rasa dan pikirannya. Baginya
hidup di dunia ini nikmat, itulah pendapat manusia yang masih terpikat
akan keduniawian, pendapat gelandangan yang pergi ke mana-mana tidak
menentu dan tidak tahu bahwa besok ia akan hidup yang tiada kenal mati.
Sesungguhnyalah dunia ini neraka.”
“Maka pendapat Kyai
Siti Jenar betul, saya setuju dan tuan benar-benar seorang mukmin yang
berpendapat tepat dan seyogyanya tuan jadi cermin, suri tauladan bagi
orang-orang lain. Tarkumasiwalahu (Arab asli : tarku ma siwa Allahu), di
dunia ini hamba campur dengan kholiqbta, hambanya di surga, khaliknya
di neraka agung.”
Syari’at Palsu Para Wali Menurut Ki Cantula
“Menurut ajaran guruku
Syekh Siti Jenar, di dunia ini alam kematian. Oleh karena itu, dunia
yang sunyi ini tidak ada Hyang Agung serta malaikat. Akan tetapi bila
saya besok sudah ada di alam kehidupan saya akan berjumpa dan kadang
kala saya menjadi Allah. Nah, di situ saya akan bersembahyang.”
“Jika sekarang saya
disuruh sholat di mesjid saya tidak mau, meskipun saya bukan orang
kafir. Boleh jadi saya orang terlantar akan Pangeran Tuhan. Kalau santri
gundul, tidak tahunya yang ada di sini atau di sana. Ia berpengangan
kandhilullah, mabuk akan Allah, buta lagi tuli.”
“Lain halnya dengan saya, murid Syekh
Siti Jenar. Saya tidak menghiraukan ujar para Wali, yang mengkukuhkan
Syari’at palsu, yang merugikan diri sendiri. Nah, Syekh Dumba,
pikirkanlah semua yang saya katakan ini. Dalam dadamu ada Al-Qur’an.
Sesuai atau tidak yang saya tuturkan itu, kanda pasti tahu.” .
Jawaban Ki Bisono Tentang Semesta, Tuhan dan Roh
Ki Bisana menyanggupi kemudian menjawab pertanyaan dari Sultan Demak:
“Pertanyaan pertama :
Pertanyaan, bahwa Allah menciptakan alam semesta itu adalah kebohongan
belaka. Sebab alam semesta itu barang baru, sedang Allah tidak membuat
barang yang berwujud menurut dalil : layatikbiyu hilamuhdil, artinya
tiada berkehendak menciptakan barang yang berwujud. Adapun terjadinya
alam semesta ini ibaratnya : drikumahiyati : artinya menemukan keadaan.
Alam semesta ini : la awali. Artinya tiada berawal. Panjang sekali
kiranya kalau hamba menguraikan bahwa alam semesta ini merupakan barang
baru, berdasarkan yang ditulis dalam Kuran.”
“Pertanyaan yang kedua :
Paduka bertanya di mana rumah Hyang Widi. Hal itu bukan merupakan hal
yang sulit, sebab Allah sejiwa dengan semua zat. Zat wajibul wujud
itulah tempat tinggalnya, seumpamanya Zat tanahlah rumahnya. Hal ini
panjang sekali kalau hamba terangkan. Oleh karena itu hamba cukupkan
sekian saja uraian hamba.”
“Selanjutnya pertanyaan
ketiga : berkurangnya nyawa siang malam, sampai habis ke manakah
perginya nyawa itu. Nah, itu sangat mudah untuk menjawabnya. Sebab nyawa
tidak dapat berkurang, maka nyawa itu bagaikan jasad , berupa gundukan,
dapat aus, rusak dimakan anai-anai. Hal inipun akan panjang sekali
untuk hamba uraikan. Meskipun hamba orang sudra asal desa, akan tetapi
tata bahasa kawi hamba mengetahui juga, baik bahasa biasa maupun yang
dapat dinyanyikan. Lagu tembang sansekerta pun hamba dapat menyanyikan
juga dengan menguraikan arti kalimatnya, sekaligus hamba bukan seorang
empu atau pujangga, melainkan seorang yang hanya tahu sedikit tentang
ilmu.”
“Itu semua disebabkan
karena hamba berguru kepada Syekh Siti Jenar, di Krendhasawa, tekun
mempelajari kesusasteraan dan menuruti perintah guru yang bijaksana.
Semua murid Syekh Siti Jenar menjadi orang yang cakap, berkat kemampuan
mereka untuk menerima ajaran guru mereka sepenuh hati.”
“Adapun pertanyaan yang
keempat : paduka bertanya bagaimanakah rupa Yang Maha Suci itu. Kitab
Ulumuddin sudah memberitahukan : walahu lahir insan, wabatinul insani
baitu-baytullahu (Arab asli : wa Allahu dzahir al-insan, wabathin,
al-insanu baytullahu), artinya lahiriah manusia itulah rupa Hyang Widi.
Batiniah manusia itulah rumah Hyang Widi. Banyak sekali yang tertulis
dalam Kitab Ulumuddin, sehingga apabila hamba sampaikan kepada paduka,
Kanjeng Pangeran Tembayat tentu bingung, karena paduka tidak dapat
menerima, bahkan mungkin paduka mengira bahwa hamba seorang majenun.
Demikianlah wejangan Syekh Siti Jenar yang telah hamba terima.”
“Guru hamba menguraikan
asal-usul manusia dengan jelas, mudah diterima oleh para siswa,
sehingga mereka tidak menjadi bingung. Diwejang pula tentang ilmu yang
utama, yang menjelaskan tentang dan kegunaan budi dalam alam kematian di
dunia ini sampai alam kehidupan di Akhirat. Uraiannya jelas dapat
dilihat dengan mata dan dibuktikan dengan nyata.”
“Dalam memberikan
pelajaran, guru hamba Syekh Siti Jenar, tiada memakai tirai selubung,
tiada pula memakai lambang-lambang. Semua penjelasan diberikan secara
terbuka, apa adanya dan tanpa mengharapkan apa-apa sedikitpun. Dengan
demikian musnah segala tipu muslihat, kepalsuan dan segala perbuatan
yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan. Hal ini berbeda dengan apa
yang dilakukan para guru lainnya. Mereka mengajarkan ilmunya secara
diam-diam dan berbisik-bisik, seolah-olah menjual sesuatu yang gaib,
disertai dengan harapan untuk memperoleh sesuatu yang menguntungkan
untuk dirinya.”
“Hamba sudah berulang
kali berguru serta diwejang oleh para wali mu’min, diberitahu akan
adanya Muhammad sebagai Rosulullah serta Allah sebagai Pangeran hamba.
Ajaran yang dituntunkan menuntun serta membuat hamba menjadi bingung dan
menurut pendapat hamba ajaran mereka sukar dipahami, merawak-rambang
tiada patokan yang dapat dijadikan dasar atau pegangan. Ilmu Arab
menjadi ilmu Budha, tetapi karena tidak sesuai kemudian mereka mengambil
dasar dan pegangan Kanjeng Nabi. Mereka mematikan raga, merantau
kemana-mana sambil menyiarkan agama. Padahal ilmu Arab itu tiada kenal
bertapa, kecuali berpuasa pada bulan Romadan, yang dilakukan dengan
mencegah makan, tiada berharap apapun.”
“Jadi jelas kalau para
wali itu masih manganut agama Budha, buktinya mereka masih sering
ketempat-tempat sunyi, gua-gua, hutan-hutan, gunung-gunung atau tepi
samudera dengan mengheningkan cipta, sebagai laku demi terciptanya
keinginan mereka agar dapat bertemu dengan Hyang Sukma. Itulah buktinya
bahwa mereka masih dikuasai setan ijajil. Menurut cerita Arab Ambiya,
tiada orang yang dapat mencegah sandang pangan serta tiada untuk kuasa
berjaga mencegah tidur kecuali orang Budha yang mensucikan dirinya
dengan jalan demikian. Nah, silahkan memikirkan apa yang hamba katakan,
sebagai jawaban atas empat pertanyaan paduka.”.
Wasiat dan Ajaran Syekh Amongraga
”Syekh Amongraga adalah
salah seorang pewaris ajaran Syekh Siti Jenar pada masa Sultan Agung
Hanyokusumo (1645). Mengenai rincian kehidupan dan ajaran Syekh
Amongraga dapat dibaca di serat Centini”.
Syekh Amongraga mewasiatkan berbagai inti ajaran yang meliputi (Primbon Sabda Sasmaya; hlm. 24):
1. Rahayu ing Budhi (selamat akhlak dan moral).
2. Mencegah dan berlebihnya makanan.
3. Sedikit tidur.
4. Sabar dan tawakal dalam hati.
5. Menerima segala kehendak dan takdir Tuhan.
6. Selalu mensyukuri takdir Tuhan.
7. Mengasihi fakir dan miskin.
8. Menolong orang yang kesusahan.
9. Memberi makan kepada orang yang lapar.
10. Memberi pakaian kepada orang yang telanjang.
11. Memberikan payung kepada orang yang kehujanan.
12. Memberikan tudung kepada orang yang kepanasan.
13. Memberikan minum kepada orang yang haus.
14. Memberikan tongkat penunjuk kepada orang yang buta.
15. Menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat.
16. Menyadarkan orang yang lupa.
17. Membenarkan ilmu dan laku orang yang salah.
18. Mengasihi dan memuliakan tamu.
19. Memberikan maaf kepada kesalahan dan dosa sanak-kandung, saudara, dan semua manusia.
20.
Jangan merasa benar, jangan merasa pintar dalam segala hal, jangan
merasa memiliki, merasalah bahwa semua itu hanya titipan dari Tuhan yang
membuat bumi dan langit, jadi manusia itu hanyalah sudarma
(memanfaatkan dengan baik dengan tujuan dan cara yang baik pula) saja.
Pakailah budi, syukur, sabar, menerima, dan rela.
Ajaran Syekh Siti Jenar Menurut Pangeran Panggung
“….Saya mencari ilmu
sejati yang berhubungan langsung dengan asal dan tujuan hidup, dan itu
saya pelajari melalui tanajjul tarki. Menurut saya , untuk mengharapkan
hidayah hanyalah bias didapat dengan kesejatian ilmu. Demi kesentausaan
hati menggapai gejolak jiwa, saya tidak ingin terjebak dalam syariat.”
“Jika saya terjebak
dalam syariat, maka seperti burung sudah bergerak, akan tetapi
mendapatkan pikiran yang salah. Karena perbuatan salah dalam syariat
adalah pada kesalahpahaman dalam memahami larangan. Bagi saya kesejatian
ilmu itulah yang seharusnya dicari dan disesuaikan dengan ilmu
kehidupan. Kebanyakan manusia itu, jika sudah sampai pada janji maka
hatinya menjadi khawatir, wataknya selalu was-was…senantiasa takut
gagal….Alam dibawah kolong langit, diatas hamparan bumi dan semua isi
didalamnya hanyalah ciptaan Yang Esa, tidak ada keraguan. Lahir batin
harus bulat, mantap berpegang pada tekad.” (Serat Suluk Malang Sumirang,
Pupuh 1-2).
“Yang membuat kita
paham akan diri kita, Pertama tahu akan datang ajal, karena itu tahu
jalan kemuliaannya, Kedua, tahu darimana asalnya ada kita ini
sesungguhnya, berasal dari tidak ada. Kehendak-Nya pasti jadi, dan
kejadian itu sendiri menjadi misal. Wujud mustahil pertandanya sebagai
cermin yang bersih merata keseluruh alam. Yang pasti dzatnya kosong,
sekali dan tidak ada lagi. Dan janganlah menyombongkan diri, bersikaplah
menerima jika belum berhasil. Semua itu kehendak Sang Maha Pencipta.
Sebagai makhluk ciptaan, manusia didunia ini hanya satu repotnya. Yaitu
tidak berwenang berkehendak, dan hanya pasrah kepada kehendak Allah.”
“Segala yang tercipta
terdiri dari jasad dan sukma, serta badan dan nyawa. Itulah sarana
utama, yakni cahaya, roh, dan jasad. Yang tidak tahu dua hal itu akan
sangat menyesal. Hanya satu ilmunya, melampaui Sang Utusan. Namun bagi
yang ilmunya masih dangkal akan mustahil mencapai kebenaran, dan
manunggal dengan Allah. Dalam hidup ini, ia tidak bisa mengaku diri
sebagai Allah, Sukma Yang Maha Hidup. Kufur jika menyebut diri sebagai
Allah. Kufur juga jika menyamakan hidupnya dengan Hidup Sang Sukma,
karena sukmaitu adalah Allah.” .
” Waktu shalat
merupakan pilihan waktu yang sesungguhnya berangkat dari ilmu yang
hebat. Mengertikah Anda, mengapa shalat dzuhur empat raka’at? Itu
disebabkan kita manusia diciptakan dengan dua kaki dan dua tangan.
Sedang shalat ‘Ashar empat raka’at juga, adalah kejadian bersatunya dada
dengan Telaga al-Kautsar dengan punggung kanan dan kiri. Shalat Maghrib
itu tiga raka’at, karena kita memiliki dua lubang hidung dan satu
lubang mulut. Adapun shalat ‘Isya’ enjadi empat raka’at karena adanya
dua telinga dan dua buah mata. Adapun shalat Subuh, mengapa dua raka’at
adalah perlambang dari kejadian badan dan roh kehidupan. Sedangkan
shalat tarawih adalah sunnah muakkad yang tidak boleh ditinggalkan dua
raka’atnya oleh yang melakukan, men-jadi perlambang tumbuhnya alis kanan
dan kiri.”
“Adapun waktu yang
lima, bahwa masing-masing berbeda-beda yang memilikinya. Shalat Subuh,
yang memiliki adalah Nabi Adam. Ketika diturunkan dari surga mulia,
berpisah dengan istrinya Hawa menjadi sedih karena tidak ada kawan. Lalu
ada wahyu dari melalui malaikat Jibril yang mengemban perintah Tuhan
kepada Nabi Adam, “Terimalah cobaan Tuhan, shalat Subuhlah dua raka’at”.
Maka Nabi Adampun siap melaksanakannya. Ketika Nabi Adam melaksanakan
shalat Subuh pada pagi harinya, ketika salam. Telah mendapati istrinya
berada dibelakangnya, sambil menjawab salam. Shalat Dzuhur dimaksudkan
ketika Kanjeng Nabi Ibrahim pada zaman kuno mendapatkan cobaan besar,
dimasukkan ke dalam api hendak dihukum bakar. Ketika itu Nabi Ibrahim
mendapat wahyu ilahi, disuruh untuk melaksanakan shalat Dzuhur empat
raka’at. Nabi Ibrahim melaksanakan shalat, api padam seketika. Adapun
shalat Ashar, dimaksudkan ketika Nabi Yunus sedang naik perahu dimakan
ikan besar. Nabi Yunus merasakan kesusahan ketika berada di dalam perut
ikan. Waktu itu terdapat wahyu Ilahi, Nabi Yunus diperintahkan
melaksanakan shalat Ashar empat raka’at. Nabi Yunus segera melaksanakan,
dan ikan itu tidak mematikannya. Malah ikan itu mati, kemudian Nabi
Yunus keluar dari perut ikan. Sedangkan shalat Maghrib pada zaman kuno
yang memulainya adalah Nabi Nuh. Ketika musibah banjir bandang sejagat,
Nabi Nuh bertaubat merasa bersalah. Dia diterima taubatnya disuruh
mengerjakan shalat. Kemudian Nabi Nuh melaksanakan shalat Maghrib tiga
raka’at, maka banjirpun surut seketika. Shalat ‘Isya sesungguhnya Nabi
Isa yang memulainya. Ketika kalah perang melawan Raja Harkiyah (Juga
disebut Raja Herodes, atasan Gubernur Pontius Pilatus) semua kaumnya
bingung tidak tahu utara, selatan, barat, timur dan tengah. Nabi Isa
merasa susah, dan tidak lama kemudian datang malaikat Jibril membawa
wahyu dengan uluk salam. Nabi Isa diperintahkan melaksanakan shalat
‘Isya. Nabi Isa menyanggupinya, dan semua kaumnya mengikutinya, dan
malaikat Jibril berkata, “Aku yang membalaskan kepada Pendeta Balhum.”
.
“Menurut pemahaman
saya, sesuai petunjuk Syekh Siti Jenar dahulu, anasir itu ada empat yang
berupa anasir batin dan ansir lahir. Pertama, anasir Gusti. Perlu
dipahami dengan baik dzat, sifat, asma dan af’al (perbuatan)
kedudukannya dalam rasa. Dzat maksudnya adalah bahwa diri manusia dan
apapun yang kemerlap di dunia ini tidak ada yang memiliki kecuali Tuhan
Yang Maha Tinggi, yang besar atau yang kecil adalah milik Allah semua.
Ia tidak memiliki hidupnya sendiri. Hanya Allah yang Hidup, yang
Tunggal. Adapun sifat sesungguhnya segala wujud yang kelihatan yang
besar atau kecil, seisi bumi dan langit tidak ada yang memiliki hanya
Allah Tuhan Yang Maha Agung. Adapun asma sesungguhnya, nama semua
ciptaan seluruh isi bumi adalah milik Tuhan Allah Yang Maha Lebih Yang
Maha Memiliki Nama. Sedangkan artinya af’al adalah seluruh gerak dan
perbuatan yang kelihatan dari seluruh makhluk isi bumi ini adalah tidak
lain dari perbuatan Allah Yang Maha Tinggi, demikian maksud anasir
Gusti.”
“Anasir roh, ada empat
perinciannya yang berwujud ilmu yang dinamai cahaya persaksian (nur
syuhud). Maksudnya adalah sebagai berikut : pertama, yang disebut wujud
sesungguhnya adalah hidup sejati atau amnusia sejati seperti pertempuran
yang masih perawan itulah yang dimaksud badarullah yang sebenarnya.
Kedua, yang disebut ilmu adalah pengetahuan batin yang menjadi nur atau
cahaya kehidupan atau roh idhafi, cahaya terang menyilaukan seperti
bintang kejora. Ketiga, yang dimaksud syuhud adalah kehendak batin
kejora. Ketiga, yang dimaksud syuhud adalah kehendak batin tatkala
memusatkan perhatian terutama ketika mengucapkan takbir. Demikianlah
penjelasan tentang anasir roh, percayalah kepada kecenderungan hati.”
“Anasir manusia
maksudnya hendaklah dipahami bahwa manusia itu terdiri dari bumi, api,
angin dan air. Bumi itu menjadi jasad, api menjadi cahaya yang bersinar,
angin menjadi napas keluar masuk, air, menjadi darah. Keempatnya
bergerak tarik menarik secara ghaib. Demikianlah penjelasan saya tentang
anasir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar