SATU
“Allah itu adalah keadaanku, kenapa kawan-kawan pada memakai penghalang? Sesungguhnya aku inilah haq Allah pun tiada wujud dua, nanti Allah sekarang Allah, tetap dzahir batin Allah, kenapa kawan-kawan masih memakai pelindung?” (Babad Tanah Sunda, Sulaeman Sulendraningrat, 1982, bagian XLIII).
“Allah itu adalah keadaanku, kenapa kawan-kawan pada memakai penghalang? Sesungguhnya aku inilah haq Allah pun tiada wujud dua, nanti Allah sekarang Allah, tetap dzahir batin Allah, kenapa kawan-kawan masih memakai pelindung?” (Babad Tanah Sunda, Sulaeman Sulendraningrat, 1982, bagian XLIII).
Ucapan spiritual Syekh Siti Jenar
tersebut diucapkan pada saat para wali menghendaki diskusi yang membahas
masalah Micara Ilmu tanpa Tedeng Aling-aling. Diskusi para wali
diadakan setelah Dewan Walisanga mendengar bahwa Syekh Siti Jenar mulai
mengajarkan ilmu ma’rifat dan hakikat. Sementara dalam tugas resmi yang
diberikan oleh Dewan Walisanga hanya diberi kewenangan mengajarkan
syahadat dan tauhid. Sementara menurut Syekh Siti Jenar justru inti
paling mendasar tentang tauhid adalah manunggal, di mana seluruh ciptaan
pasti akan kembali menyatu dengan yang menciptakan.
Pada saat itu, Sunan Gunung Jati
mengemukakan, “Adapun Allah itu adalah yang berwujud haq”; Sunan Giri
berpendapat, “Allah itu adalah jauhnya tanpa batas, dekatnya tanpa
rabaan.”; Sunan Bonang berkata, “Allah itu tidak berwarna, tidak berupa,
tidak berarah, tidak bertempat, tidak berbahasa, tidak bersuara, wajib
adanya, mustahil tidak adanya.”; Sunan Kalijaga menyatakan, “Allah itu
adalah seumpama memainkan wayang.”; Syekh Maghribi berkata, “Allah itu
meliputi segala sesuatu.”; Syekh Majagung menyatakan, “Allah itu bukan
disana atau disitu, tetapi ini.”; Syekh Bentong menyuarakan, “Allah itu
itu bukan disana sini, ya inilah.”; Setelah ungkapan Syekh Bentong
inilah, tiba giliran Syekh Siti Jenar dan mengungkapkan konsep dasar
teologinya di atas. Hanya saja ungkapan Syekh Siti Jenar tersebut
ditanggapi dengan keras oleh Sunan Kudus, yang salah menangkap makna
ungkapan mistik tersebut, “Jangan suka terlanjur bahasa menurut pendapat
hamba adapun Allah itu tidak bersekutu dengan sesama.”
Mulai persidangan itulah hubungan Syekh
Siti Jenar dengan para wali memanas, sebab Syekh Siti Jenar tetap teguh
pada pendirian tauhid sejatinya. Sementara para Dewan Wali mengikuti
madzhab resmi yang digariskan oleh kerajaan Demak, Sunni-Syafi’i. Sampai
masa persidangan penentuannya, Syekh Siti Jenar tetap menyuarakan
dengan lantang teologi manunggalnya bahwa, “Utawi Allah iku nyataning
sun kang sampurna kang tetep ing dalem dhohir batin,” (bahwa Allah itu
nyatanya aku yang sempurna yang tetap di dalam dzahir dan batin) .
Riwayat yang agak sama juga tercantum dalam Babad Cerbon, terbitan
Brandes (1911) pada Pupuh 23, Kinanti bait 1-8.
DUA
“Jika ada seorang manusia yang percaya kepada kesatuan lain selain dari Tuhan yang Mahakuasa, ia akan kecewa karena ia tidak akan memperoleh apa yang ia inginkan.” (S. Soebardi, The Book of ebolek, hlm. 103).
“Jika ada seorang manusia yang percaya kepada kesatuan lain selain dari Tuhan yang Mahakuasa, ia akan kecewa karena ia tidak akan memperoleh apa yang ia inginkan.” (S. Soebardi, The Book of ebolek, hlm. 103).
Menurut beberapa sumber, di antaranya
Soebardi (1975), beberapa saat setelah Syekh Siti Jenar wafat, para wali
mendengar suara yang berasal dari roh Syekh Siti Jenar yang berupa
ungkapan mistik tersebut. Ungkapan mistik itu merupakan ungkapan
terakhir dari sang sufi sebagai bukti bahwa sampai sesudah wafatnya, dia
memperoleh apa yang diinginkannya, dan menjadi bukti kebenaran
ajarannya, yakni kehidupan sejati dalam kesatuan; manunggaling
kawula-Gusti.
TIGA
“… tidak usah kebanyakan teori semu, sesungguhnya ingsun inilah Allah. Nyata Ingsun Yang Sejati, bergelar Prabu Satmata, yang tidak ada lain kesejatiannya, yang disebut sebangsa Allah…” (R. Tanoyo: Walisanga, hlm. 124)
“… tidak usah kebanyakan teori semu, sesungguhnya ingsun inilah Allah. Nyata Ingsun Yang Sejati, bergelar Prabu Satmata, yang tidak ada lain kesejatiannya, yang disebut sebangsa Allah…” (R. Tanoyo: Walisanga, hlm. 124)
Maksud bebas ungkapan tersebut adalah
“tidak usah kebanyakan bicara tentang teori ketuhanan, sesungguhnya
ingsun (aku sejati) inilah Allah. Yaitu Ingsun (Kedirian) Yang Sejati,
juga bergelar Prabu Satmata (Tuhan Yang Maha Melihat, mengetahui
segala-galanya), dan tidak boleh ada yang lain yang penyebutannya
mengarah kepada Allah sebagai Tuhan”.
EMPAT
“Mungguh sajatine ananing zdat kang sanyata iku muhung ana anteping tekat kita, tandhane ora ana apa-apa, ananging kudu dadi sabarang sedya kita kang satuhu” [Sebenarnya, keberadaan dzat yang nyata itu hanya berada pada mantapnya tekad kita, tandanya tidak ada apa-apa, akan tetapi harus menjadi segala niat kita yang sungguh-sungguh]. (Serat Candhakipun Riwayat Jati, hlm. 1).
“Mungguh sajatine ananing zdat kang sanyata iku muhung ana anteping tekat kita, tandhane ora ana apa-apa, ananging kudu dadi sabarang sedya kita kang satuhu” [Sebenarnya, keberadaan dzat yang nyata itu hanya berada pada mantapnya tekad kita, tandanya tidak ada apa-apa, akan tetapi harus menjadi segala niat kita yang sungguh-sungguh]. (Serat Candhakipun Riwayat Jati, hlm. 1).
Menurut Syekh Siti
Jenar, keberadaan dzat hanya ada beserta kemantapan hati dalam merengkuh
Tuhan. Dalam diri tidak ada apa-apa kecuali menjadikan menunggal
sebagai niat dan yang mewarnai segala hal yang berhubungan dengan asma,
sifat dan af’al Pribadi. Inilah di antara maksud utama ungkapan di atas.
Jadi pemahaman atas ungkapan itu harus tetap berada dalam lingkup
kemanunggalan. Kemanunggalan tidak akan berhasil jika hanya mengandalkan
perangkat syari’at dan tarekat. Apalagi sekedar syari’at lahiriyah
(nominal). Kemanunggalan akan berhasil seiring dengan tekad hati dan
keseluruhan Pribadi dalam merengkuh Allah, sebagaimana roh Allah pada
awalnya ditiupkan atas setiap pribadi manusia.
LIMA
“…marilah kita berbicara dengan terus terang. Aku ini Allah. Akulah yang sebenarnya disebut Prabu Satmata, tidak ada lain yang bernama Allah…saya menyampaikan ilmu tertinggi yang membahas ketunggalan. Ini bukan badan, selamanya bukan, karena badan tidak ada. Yang kita bicarakan ialah ilmu sejati dan untuk semua orang kita membuka tabir [artinya membuka rahasia yang paling tersembunyi.]” (Serat Siti Jenar Asmarandana, hlm. 15, bait 20-22).
“…marilah kita berbicara dengan terus terang. Aku ini Allah. Akulah yang sebenarnya disebut Prabu Satmata, tidak ada lain yang bernama Allah…saya menyampaikan ilmu tertinggi yang membahas ketunggalan. Ini bukan badan, selamanya bukan, karena badan tidak ada. Yang kita bicarakan ialah ilmu sejati dan untuk semua orang kita membuka tabir [artinya membuka rahasia yang paling tersembunyi.]” (Serat Siti Jenar Asmarandana, hlm. 15, bait 20-22).
ENAM
“Tidak usah banyak tingkah, saya inilah Tuhan, Ya, betul-betul saya ini adalah Tuhan yang sebenarnya, bergelar Prabu Satmata, ketahuilah bahwa tidak ada bangsa Tuhan yang lain selain saya. …. Saya ini mengajarkan ilmu untuk betul-betul dapat merasakan adanya kemanunggalan. Sedangkan bangkai itu selamanya kan tidak ada. Adapun yang dibicarakan sekarang ini adalah ilmu yang sejati yang dapat membuka tabir kehidupan. Dan lagi, semuanya sama. Sudah tidak ada tanda secara samar-samar, bahwa benar-benar tidak ada perbedaan lagi. Jika ada perbedaan yang bagaimanapun, saya akan tetap mempertahankan tegaknya ilmu tersebut.” (Boekoe Siti Djenar, Tan Khoen Swie, hlm. 18-20).
“Tidak usah banyak tingkah, saya inilah Tuhan, Ya, betul-betul saya ini adalah Tuhan yang sebenarnya, bergelar Prabu Satmata, ketahuilah bahwa tidak ada bangsa Tuhan yang lain selain saya. …. Saya ini mengajarkan ilmu untuk betul-betul dapat merasakan adanya kemanunggalan. Sedangkan bangkai itu selamanya kan tidak ada. Adapun yang dibicarakan sekarang ini adalah ilmu yang sejati yang dapat membuka tabir kehidupan. Dan lagi, semuanya sama. Sudah tidak ada tanda secara samar-samar, bahwa benar-benar tidak ada perbedaan lagi. Jika ada perbedaan yang bagaimanapun, saya akan tetap mempertahankan tegaknya ilmu tersebut.” (Boekoe Siti Djenar, Tan Khoen Swie, hlm. 18-20).
TUJUH
“Jika Anda menanyakan dimana rumah Tuhan, jawabnya tidaklah sulit. Allah berada pada dzat yang tempatnya tidak jauh, yaitu bersemayam di dalam tubuh. Tetapi hanya orang yang terpilih yang bisa melihatnya, yaitu orang yang suci.” (Suluk Wali Sanga, R. Tanaja, hlm. 42-46).
“Jika Anda menanyakan dimana rumah Tuhan, jawabnya tidaklah sulit. Allah berada pada dzat yang tempatnya tidak jauh, yaitu bersemayam di dalam tubuh. Tetapi hanya orang yang terpilih yang bisa melihatnya, yaitu orang yang suci.” (Suluk Wali Sanga, R. Tanaja, hlm. 42-46).
Ungkapan no. 5, 6, dan 7.
Dinyatakan dalam sidang para wali yang dipimpin oleh Sunan Giri bertempat di Giri Kedaton. Penjelasan Syekh Siti Jenar bahwa dirinya bukan badan menanggapi pernyataan Maulana Maghribi yang bertanya, “Tetapi yang kau tunjukkan itu hanya badan.” Syekh Siti Jenar menyampaikan ajaran “ingsun” yang dikemukakan secara radikal, yang mengajarkan kesamaan tuntas antara san pembicara dengan Allah. Ini sebagai efek dari berbagai pengalaman spiritualnya yang demikian tinggi, sehingga Manunggaling Kawula-Gusti juga meniscayakan adanya manunggalnya kalam (pembicaraan, sabda, firman). Adapun gelar Prabu Satmata memilki makna sama dengan Hyang Manon atau Yang Maha Tahu. Gelar tersebut juga diberikan kepada para Walisanga kepada Sunan Giri. Nampak bahwa Syekh Siti Jenar memiliki pendirian tegas, bahwa ilmu spiritual harus diajarkan kepada semua orang. Karena justru dengan membuka tabir itulah, orang akan mengetahui hakikat kehidupan dan rahasia hidupnya.
Dinyatakan dalam sidang para wali yang dipimpin oleh Sunan Giri bertempat di Giri Kedaton. Penjelasan Syekh Siti Jenar bahwa dirinya bukan badan menanggapi pernyataan Maulana Maghribi yang bertanya, “Tetapi yang kau tunjukkan itu hanya badan.” Syekh Siti Jenar menyampaikan ajaran “ingsun” yang dikemukakan secara radikal, yang mengajarkan kesamaan tuntas antara san pembicara dengan Allah. Ini sebagai efek dari berbagai pengalaman spiritualnya yang demikian tinggi, sehingga Manunggaling Kawula-Gusti juga meniscayakan adanya manunggalnya kalam (pembicaraan, sabda, firman). Adapun gelar Prabu Satmata memilki makna sama dengan Hyang Manon atau Yang Maha Tahu. Gelar tersebut juga diberikan kepada para Walisanga kepada Sunan Giri. Nampak bahwa Syekh Siti Jenar memiliki pendirian tegas, bahwa ilmu spiritual harus diajarkan kepada semua orang. Karena justru dengan membuka tabir itulah, orang akan mengetahui hakikat kehidupan dan rahasia hidupnya.
DELAPAN
“Syekh Lemah Abang namaku, Rasulullah ya aku, Muhammad ya aku, Asma Allah itu sesungguhnya diriku; ya Akulah yang menjadi Allah ta’ala.” (Wawacan Sunan Gunung Jati terbitan Emon Suryaatmana dan T.D. Sudjana, Pupuh 38 Sinom, bait 13).
“Syekh Lemah Abang namaku, Rasulullah ya aku, Muhammad ya aku, Asma Allah itu sesungguhnya diriku; ya Akulah yang menjadi Allah ta’ala.” (Wawacan Sunan Gunung Jati terbitan Emon Suryaatmana dan T.D. Sudjana, Pupuh 38 Sinom, bait 13).
Ungkapan mistik Syekh Siti Jenar tersebut
menunjukkan, bahwa dalam teologi manunggaling kawula-Gusti, tidak hanya
terjadi proses kefanaan antara hamba dan pencipta sebagaimana apa yang
dialami oleh Bayazid al-Bustami dan Manshur al-Hallaj. Dalam kasus
pengalaman mistik Syekh Siti Jenar, antara syahadat Rasul dan syahadat
Tauhid ikut larut dalam kefanaan.
Sehingga dalam pengalaman mistik
manunggal ini, terjadi kemanunggalan diri, Rasul dan Tuhan. Suatu titik
puncak pengalaman spiritual, yang sudah dialami oleh para ulama sufi
sejak abad ke-9, yakni sejak fana’nya Bayazid al-Busthami, Junaid
al-Baghdadi, “ana al-Haqq”-nya Manshur al-Hallaj, juga ‘Aynul Quddat
al-Hamadani, dan Syaikh al-Isyraq Syuhrawardi al-Maqtul, dan akhirnya
menemukan titik kulminasinya pada teologi Manunggaling Kawula-Gusti
Syekh Siti Jenar.
SEMBILAN
“Sesungguhnyalah, Lapal Allah yaitu kesaksian akan Allah, yang tanpa rupa dan tiada tampak, membingungkan orang, karena diragukan kebenarannya. Dia tidak mengetahui akan diri pribadinya yang sejati, sehingga ia menjadi bingung. Sesungguhnya nama Allah itu untuk menyebut wakil-Nya, diucapkan untuk menyatakan yang dipuja dan menyatakan suatu janji. Nama itu ditumbuhkan menjadi kalimat yang diucapkan: “Muhammad Rasulullah”. Padahal sifat kafir berwatak jisim, yang akan membusuk, hancur lebur bercampur tanah.” “Lain jika kita sejiwa dengan Zat Yang Maha Luhur. Ia gagah berani, naha sakti dalam syarak, menjelajahi alam semesta. Dia itu Pangeran saya, yang menguasai dan memerintah saya, yang bersifat wahdaniyah, artinya menyatukan diri dengan ciptaan-Nya. Ia dapat abadi mengembara melebihi peluru atau anak sumpitan, bukan budi bukan nyawa, bukan hidup tanpa asal dari manapun, bukan pula kehendak tanpa tujuan.” “Dia itu yang bersatu padu menjadi wujud saya. Tiada susah payah, kodrat dan kehendak-Nya, pergi ke mana saja tiada haus, tiada lelah tanpa penderitaan dan tiada lapar. Kekuasan-Nya dan kemampuan-Nya tiada kenal rintangan, sehingga pikiran keras dari keinginan luluh tiada berdaya. Maka timbullah dari jiwa raga saya kearif-bijaksanaan tanpa saya ketahui keluar dan masuk-Nya, tahu-tahu saya menjumpai Ia sudah ada disana”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sastrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 45-48).
“Sesungguhnyalah, Lapal Allah yaitu kesaksian akan Allah, yang tanpa rupa dan tiada tampak, membingungkan orang, karena diragukan kebenarannya. Dia tidak mengetahui akan diri pribadinya yang sejati, sehingga ia menjadi bingung. Sesungguhnya nama Allah itu untuk menyebut wakil-Nya, diucapkan untuk menyatakan yang dipuja dan menyatakan suatu janji. Nama itu ditumbuhkan menjadi kalimat yang diucapkan: “Muhammad Rasulullah”. Padahal sifat kafir berwatak jisim, yang akan membusuk, hancur lebur bercampur tanah.” “Lain jika kita sejiwa dengan Zat Yang Maha Luhur. Ia gagah berani, naha sakti dalam syarak, menjelajahi alam semesta. Dia itu Pangeran saya, yang menguasai dan memerintah saya, yang bersifat wahdaniyah, artinya menyatukan diri dengan ciptaan-Nya. Ia dapat abadi mengembara melebihi peluru atau anak sumpitan, bukan budi bukan nyawa, bukan hidup tanpa asal dari manapun, bukan pula kehendak tanpa tujuan.” “Dia itu yang bersatu padu menjadi wujud saya. Tiada susah payah, kodrat dan kehendak-Nya, pergi ke mana saja tiada haus, tiada lelah tanpa penderitaan dan tiada lapar. Kekuasan-Nya dan kemampuan-Nya tiada kenal rintangan, sehingga pikiran keras dari keinginan luluh tiada berdaya. Maka timbullah dari jiwa raga saya kearif-bijaksanaan tanpa saya ketahui keluar dan masuk-Nya, tahu-tahu saya menjumpai Ia sudah ada disana”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sastrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 45-48).
Pernyataan di atas adalah tafsir
sederhana dari sasahidan yang menjadi intisari ajaran Syekh Siti Jenar,
dan landasan mistik teologi kemanunggalan. Kalimah syahadat yang hanya
diucapkan dengan lisan dan hanya dihiasi dengan perangkat kerja fisik
(pelaksanaan fiqih Islam dengan tanpa aplikasi spiritual), hakikatnya
adalah kebohongan. Pelaksanaan aspek fisik keagamaan yang tidak disertai
dengan implikasi kemanunggalan roh, sebenarnya jiwa orang itu mencuri,
yakni mencuri dari perhatiannya kepada aspek Allah dalam diri. Itulah
sebenar-benarnya munafik dalam tinjauan batin, dan fasik dalam kacamata
lahir. Sebab manusia sebagai khalifah-Nya adalah cermin Ilahiyah yang
harus menampak kepada seluruh alam. Sebagai alatnya adalah kemanunggalan
wujudiyah sebagaimana terdapat dalam Sasahidan. Terdapat kesatupaduan
antara Allah, Rasul dan manusia. Masing-masing bukanlah sesuatu yang
saling asing mengasingkan.
Kesejatian Hidup dan Kehidupan
SEPULUH.
“Rahasia kesadaran kesejatian kehidupan, ya ingsun ini kesejatian hidup, engkau sejatinnya Allah, ya ingsun sejatinya Allah; yakni wujud (yang berbentuk) itu sejatinya Allah, sir (rahsa=rahasia) itu Rasulullah, lisan (pangucap) itu Allah, jasad Allah badan putih tanpa darah, sir Allah, rasa Allah, rahasia kesejatian Allah, ya ingsun (aku) ini sejatinya Allah.” (Wejangan Walisanga: hlm. 5).
“Rahasia kesadaran kesejatian kehidupan, ya ingsun ini kesejatian hidup, engkau sejatinnya Allah, ya ingsun sejatinya Allah; yakni wujud (yang berbentuk) itu sejatinya Allah, sir (rahsa=rahasia) itu Rasulullah, lisan (pangucap) itu Allah, jasad Allah badan putih tanpa darah, sir Allah, rasa Allah, rahasia kesejatian Allah, ya ingsun (aku) ini sejatinya Allah.” (Wejangan Walisanga: hlm. 5).
Subtansi dari ungkapan spiritual tersebut
adalah bahwa kesejatian hidup, rahasia kehidupan hanya ada pada
pengalaman kemanunggalan antara kawula-Gusti. Dan dalam tataran atau
ukuran orang ‘awam hal itu bisa diraih dengan memperhatikan uraian dan
wejangan Syekh Siti Jenar tentang “Shalat Tarek Limang Waktu”.
SEBELAS
“Adanya kehidupan itu karena pribadi, demikian pula keinginan hidup itupun ditetapkan oleh diri sendiri. Tidak mengenal roh, yang melestarikan kehidupan, tiada turut merasakan sakit ataupun lelah. Suka dukapun musnah karena tiada diinginkan oleh hidup. Dengan demikian hidupnya kehidupan itu, berdiri sendiri sekehendak.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 32).
“Adanya kehidupan itu karena pribadi, demikian pula keinginan hidup itupun ditetapkan oleh diri sendiri. Tidak mengenal roh, yang melestarikan kehidupan, tiada turut merasakan sakit ataupun lelah. Suka dukapun musnah karena tiada diinginkan oleh hidup. Dengan demikian hidupnya kehidupan itu, berdiri sendiri sekehendak.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 32).
Pernyataan tersebut menunjukkan adanya
kebebasan manusia dalam menentukan jalan hidup. Manusia merdeka adalah
manusia yang terbebas dari belenggu kultural maupun belenggu struktural.
Dalam hidup ini, tidak boleh ada sikap saling menguasai antar manusia,
bahkan antara manusia dengan Tuhanpun hakikatnya tidak ada yang
menguasai dan yang dikuasai. Ini jika melihat intisari ajaran
manunggalnya Syekh Siti Jenar. Sebab dalam manusia ada roh Tuhan yang
menjamin adanya kekuasaan atas pribadinya dalam menjalani kehidupan di
dunia ini.
Dan allah itulah satu-satunya Wujud. Yang
lain hanya sekedar mewujud. Cahaya hanya satu, selain itu hanya
memancarkan cahaya saja, atau pantulannya saja. Subtansi pernyataan
Syekh Siti Jenar tersebut adalah Qs. Al-Baqarah/2;115, “Timur dan Barat
kepunyaan Allah. Maka ke mana saja kamu menghadap di situlah Wajah
Allah. ” Wujud itu dalam Pribadi, dan di dunia atau alam kematian ini,
memerlukan wadah bagi pribadi untuk mengejawantah, menguji diri sejauh
mana kemampuannya mengelola keinginan wadag, sementara Pribadinya tetap
suci.
Tuhan dan Kemanusiaan
DUA BELAS
“Zat wajibul maulana adalah yang menjadi pemimpin budi yang menuju ke semua kebaikan. Citra manusia hanya ada dalam keinginan yang tunggal. Satu keinginan saja belum tentu dapat melaksanakan dengan tepat, apa lagi dua. Nah, cobalah untuk memisahkan zat wab/jibul maulana dengan budi, agar supaya manusia dapat menerima keinginan yang lain”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 44).
“Zat wajibul maulana adalah yang menjadi pemimpin budi yang menuju ke semua kebaikan. Citra manusia hanya ada dalam keinginan yang tunggal. Satu keinginan saja belum tentu dapat melaksanakan dengan tepat, apa lagi dua. Nah, cobalah untuk memisahkan zat wab/jibul maulana dengan budi, agar supaya manusia dapat menerima keinginan yang lain”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 44).
Manusia yang mendua adalah manusia yang
tidak sampai kepada derajat kemanunggalan. Sementara manusia yang
manunggal adalah pemilik jiwa yang iradah dan kodratnya telah pula
menyatu dengan Ilahi. Sehingga akibat terpecahnya jiwa dengan roh Ilahi,
maka kehidupannya dikuasai oleh keinginan yang lain, yang dalam
al-Qur’an disebut sebagai hawa nafsu. Maka agar tidak terjadi split
personality, dan tidak mengakibatkan kerusakan dalam tatanan kehidupan,
harus ada keterpaduan antara Zat Wajibul Maulana dengan budi manusia.
Dan sang Zat Wajibul Maulana ini berada di dalam kedirian manusia, bukan
di luarnya.
TIGA BELAS
“Hyang Widi, kalau dikatakan dalam bahasa di dunia ini, baka bersifat abadi, tanpa antara, tiada erat dengan sakit ataupun rasa tidak enak. Ia berada baik di sana, maupun di sini, bukan itu bukan ini. Oleh tingkah yang banyak dilakukan dan yang tidak wajar, menuruti raga, adalah sesuatu yang baru. Segala sesuatu yang berwujud, yang tersebar di dunia ini, bertentangan dengan sifat seluruh yang diciptakan, sebab isi bumi itu angkasa yang hampa.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 30).
“Hyang Widi, kalau dikatakan dalam bahasa di dunia ini, baka bersifat abadi, tanpa antara, tiada erat dengan sakit ataupun rasa tidak enak. Ia berada baik di sana, maupun di sini, bukan itu bukan ini. Oleh tingkah yang banyak dilakukan dan yang tidak wajar, menuruti raga, adalah sesuatu yang baru. Segala sesuatu yang berwujud, yang tersebar di dunia ini, bertentangan dengan sifat seluruh yang diciptakan, sebab isi bumi itu angkasa yang hampa.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 30).
Tuhan adalah yang maha meliputi.
Keberadaannya, tidak dibatasi oleh lingkup ruang dan waktu, keghaiban
atau kematerian. Hakikat keberadaan segala sesuatu adalah
keberadaan-Nya. Oleh karenanya keberadaan segala sesuatu di hadapan-Nya
sama dengan ketidakberadaan segala sesuatu, termasuk kedirian manusia.
Maka sikap yang selalu menuruti raga disebut sebagai “sesuatu yang baru”
dalam arti tidak mengikuti iradah-Nya. Raga seharusnya tunduk kepada
jiwa yang dinaungi roh Ilahi. Sebab raga hanyalah sebagai tempat wadag
bagi keberadaan roh itu. Jangan terjebak hanya menghiasi wadahnya, namun
seharusnya yang mendapat prioritas untuk dipenuhi perhiasan dan
dicukupi kebutuhannya adalah isi dari wadah.
EMPAT BELAS
“Gagasan adanya badan halus itu mematikan kehendak manusia. Dimanakah adanya Hyang Sukma, kecuali hanya diri pribadi. Kelilingilah cakrawala dunia, membumbunglah ke langit yang tinggi, selamilah dalam bumi sampai lapisan ke tujuh, tiada ditemukan wujud yang Mulia.”
“Ke mana saja sunyi senyap adanya; ke utara, selatan, barat, timur dan tengah, yang ada di sana-sana hanya di sini adanya. Yang ada di sini bukan wujud saya. Yang ada didalamku adalah hampa yang sunyi. Isi dalam daging tubuh adalah isi perut yang kotor. Maka bukan jantung bukan otak yang pisah dari tubuh, laju pesat bagaikan anak panah lepas dari busur, menjelajah Mekah dan Madinah.”
“Gagasan adanya badan halus itu mematikan kehendak manusia. Dimanakah adanya Hyang Sukma, kecuali hanya diri pribadi. Kelilingilah cakrawala dunia, membumbunglah ke langit yang tinggi, selamilah dalam bumi sampai lapisan ke tujuh, tiada ditemukan wujud yang Mulia.”
“Ke mana saja sunyi senyap adanya; ke utara, selatan, barat, timur dan tengah, yang ada di sana-sana hanya di sini adanya. Yang ada di sini bukan wujud saya. Yang ada didalamku adalah hampa yang sunyi. Isi dalam daging tubuh adalah isi perut yang kotor. Maka bukan jantung bukan otak yang pisah dari tubuh, laju pesat bagaikan anak panah lepas dari busur, menjelajah Mekah dan Madinah.”
“Saya ini bukan budi, bukan angan-angan
hati, bukan pikiran yang sadar, bukan niat, bukan udara, bukan angin,
bukan panas dan bukan kekosongan atau kehampaan. Wujud saya ini jasad,
yang akhirnya menjadi jenazah, busuk bercampur tanah dan debu. Napas
saya mengelilingi dunia, tanah, api, air dan udara kembali ke tempat
asalnya atau aslinya, sebab semuanya barang baru, bukan asli.”
“Maka saya ini Zat yang sejiwa, menyukma
dalam Hyang Widi. Pangeran saya bersifat jalal dan jamal, artinya
Mahamulia dan Mahaindah. Ia tidak mau shalat atas kehendak sendiri,
tidak pula mau memerintahkan untuk shalat kepada siapapun. Adapun orang
shalat, itu budi yang menyuruh, budi yang laknat dan mencelakakan, tidak
dapat dipercaya dan diturut, karena perintahnya berubah-ubah.
Perkataannya tidak dapat dipegang, tidak jujur, jika diturut tidak jadi
dan selalu mengajak mencuri.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya,
Pupuh III Dandanggula, 33-36).
Menurut Syekh Siti Jenar, Allah bukanlah
sesuatu yang asing bagi diri manusia. Allah juga bukan yang ghaib dari
manusia. Walaupun Ia penyandang asma al-Ghayb, namun itu hanya dari
sudut materi atau raga manusia. Secara rohiyah, Allah adalah ke-Diri-an
manusia itu. Dalam diri manusia terdapat roh al-idhafi yang membimbing
manusia untuk mengenal dan menghampirinya. Sebagai sarananya, dalam otak
kecil manusia, Allah menaruh God-spot (titik Tuhan) sebagai filter bagi
kerja otak, agar tidak terjebak hanya berpikir materialistik dan
matematis. Inilah titik spiritual yang akan menghubungkan jiwa dan raga
melalui roh al-idhafi. Dari sistem kerja itulah kemudian terjalin
kemanunggalan abadi. Maka kalau ada anggapan bahwa Allah itu ghaib bagi
manusia, sesuatu yang jauh dari manusia, pandangan itu keliru dan sesat.
Sekali lagi apa yang
terurai di atas, adalah suatu kedaaan dan kesadaran yang sudah tidak ada
tingkatan lagi. Jika masih ada terdapat tingkatan maka sebaiknya
disempurnakan lagi. Karena tingkatan itu telah dilebur menjadi satu
dengan nama keyakinan, sehingga tidak ada perbedaan atau tingkatan.
Semuanya berpulang kepada Allah, Tuhan sekalian Alam, apa kata Alam ini
ialah juga kehendak-Nya yang merupakan wujud ADA dalam kehidupan manusia
beserta makhluk lainnya…allahu akbar.
LIMA BELAS
“Syukur kalo saya sampai tiba di alam kehidupan yang sejati. Dalam alam kematian ini saya kaya akan dosa. Siang malam saya berdekatan dengan api neraka. Sakit dan sehat saya temukan di dunia ini. Lain halnya apabila saya sudah lepas dari alam saya kematian ini. Saya akan hidup sempurna, langgeng tiada ini itu.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VI Pangkur, 20-21).
“Syukur kalo saya sampai tiba di alam kehidupan yang sejati. Dalam alam kematian ini saya kaya akan dosa. Siang malam saya berdekatan dengan api neraka. Sakit dan sehat saya temukan di dunia ini. Lain halnya apabila saya sudah lepas dari alam saya kematian ini. Saya akan hidup sempurna, langgeng tiada ini itu.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VI Pangkur, 20-21).
Dalam prespektif kemanunggalan, dunia
adalah alam kematian yang sesungguhnya, dikarenakan roh Ilahinya
terpenjara dalam badan wadagnya. Dengan badan wadag yang berhias nafsu
itulah, terjadi dosa manusia. Sehingga keberadaan manusia di dunia penuh
dengan api neraka. Ini sangat berbeda kondisinya dengan alam setelah
manusia memasuki pintu kematian. Manusia akan manunggal di alam
kehidupan sejati setelah mengalami mati. Disanalah ditemukan kesejatian
Diri yang tidak parsial. Dirinya yang utuh, sempurna, dengan segala
kehidupan yang juga sempurna.
ENAM BELAS
“Menduakan kerja bukan watak saya! Siapa yang mau mati! Dalam alam kematian orang kaya akan dosa! Balik jika saya hidup yang tak kenal ajal, akan langgeng hidup saya, tidak perlu ini itu. Akan tetapi bila saya disuruh milih hidup atau mati saya tidak sudi! Sekalipun saya hidup, biar saya sendiri yang menentukan! Tidak usah Walisanga memulangkan saya ke alam kehidupan! Macam bukan wali utama saya ini, mau hidup saja minta tolong pada sesamanya. Nah marilah kamu saksikan! Saya akan pulang sendiri ke alam kehidupan sejati.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VIII Dandanggula, 14-16).
“Menduakan kerja bukan watak saya! Siapa yang mau mati! Dalam alam kematian orang kaya akan dosa! Balik jika saya hidup yang tak kenal ajal, akan langgeng hidup saya, tidak perlu ini itu. Akan tetapi bila saya disuruh milih hidup atau mati saya tidak sudi! Sekalipun saya hidup, biar saya sendiri yang menentukan! Tidak usah Walisanga memulangkan saya ke alam kehidupan! Macam bukan wali utama saya ini, mau hidup saja minta tolong pada sesamanya. Nah marilah kamu saksikan! Saya akan pulang sendiri ke alam kehidupan sejati.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh VIII Dandanggula, 14-16).
Karena kematian hanya sebagai pintu bagi
kesempurnaan hidup yang sesungguhnya, maka sebenarnya kematian juga
menjadi bagian tidak terpisahkan dari keberadaan manusia sebagai
pribadi. Oleh karena itu, kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan
bukan sesuatu yang bisa dipilih orang lain. Kematian adalah hal yang
muncul dengan kehendak Pribadi, menyertai keinginan pribadi yang sudah
berada dalam kondisi manunggal. Oleh karena itu, dalam sistem teologi
Syekh Siti Jenar, sebenarnya tidak ada istilah “dimatikan” atau
“dipulangkan”, baik oleh Allah atau oleh siapapun. Sebab dalam hal mati
ini, sebenarnya tidak ada unsur tekan-menekan atau paksaan. Pintu
kematian adalah sesuatu hal yang harus dijalani secara sukarela, ikhlas,
dan harus diselami pengetahuannya, agar ia mengetahui kapan saatnya ia
menghendaki kematiannya itu. Barulah jika seseorang memang tidak pernah
mempersiapkan diri, dan tidak pernah mau mempelajari ilmu kematian,
tanpa tau arahnya ke mana, dan tidak mengerti apa yang sedang dialami.
TUJUH BELAS
“…Betapa banyak nikmat hidup manfaatnya mati. Kenikmatan ini dijumpai dalam mati, mati yang sempurna teramat oleklah dia. Manusia sejati-sejatinya yang sudah meraih puncak ilmu. Tiada dia mati, hidup selamanya. Menyebutkan mati syirik, lantaran tak tersentuh lahat, hanya beralih tempatlah dia dengan memboyong kratonnya. Kenikmatan mati tak dapat dihitung…” “…Tersasar, tersesat, lagi terjerumus, menjadikan kecemasan, menyusahkan dalam patinya, justru bagi ilmu orang remeh…” (Babad Jaka Tingkir-Babad Pajang, hlm. 74).
“…Betapa banyak nikmat hidup manfaatnya mati. Kenikmatan ini dijumpai dalam mati, mati yang sempurna teramat oleklah dia. Manusia sejati-sejatinya yang sudah meraih puncak ilmu. Tiada dia mati, hidup selamanya. Menyebutkan mati syirik, lantaran tak tersentuh lahat, hanya beralih tempatlah dia dengan memboyong kratonnya. Kenikmatan mati tak dapat dihitung…” “…Tersasar, tersesat, lagi terjerumus, menjadikan kecemasan, menyusahkan dalam patinya, justru bagi ilmu orang remeh…” (Babad Jaka Tingkir-Babad Pajang, hlm. 74).
Menurut penuturan Babad Jaka Tingkir,
ungkapan mistik itu keluar dari ucapan darah Syekh Siti Jenar, setelah
dipenggal kepalanya oleh Dewan Walisanga. Darah yang menyembur, jatuh ke
tanah melukis kaligrafi la ilaaha illallah, dan mengeluarkan
ucapan-ucapan mistik tersebut. Para wali dan masyarakat yang
menyaksikannya terkejut campur bingung. Setelah beberapa saat, dari
lisan kepala yang sudah dipenggal, keluar ucapan yang memerintahkan agar
darah kembali ke jasadnya, demikian pula kepala menyatu dengan tubuh.
Jelas bahwa kematian fisik tak mampu menyentuh Syekh Siti Jenar. Mati
ada dalam hidup, hidup ada dalam mati.hidup selamanya tidak mati,
kembali ke tujuan, langgeng selamanya. Setelah berpamitan dan
mengucapkan salam kepada semua yang menyaksikan, Syekh Siti Jenar dengan
diliputi oleh semerbak bau harum terbungkus cahaya gemerlapan yang
menyorot ke atas, kemudian lenyap terserap ke dalam al-Ghaib, Dia Yang
Sudah Dimuliakan. Iringan cahaya bersinar cemerlang, berkilau gemilang,
berkobar menyala, menyuramkan sinar sang mentari, menyilaukan pandang
semua orang yang menyaksikan.
Adapun pelaksanaan
hukuman atas dirinya, oleh Syekh Siti Jenar sengaja dibiarkan
terlaksana, guna memenuhi hukum duniawi, sekaligus sebagai monumen
kebenaran ajarannya. Tanpa bukti yang dinampakkan secara dzahir, maka
kebenaran ajaran Manunggaling Kawula-Gusti tidak akan pernah terwujud.
Sebab pembuktian itu –sebagaimana sudah terjadi pada Mansur al-Hallaj,
al-Syuhrawardi dan ‘Aynul Quddat al-Hamadani sebagai pendahulunya –
memang menuntut jasad sang Guru sebagai martir atau syahid bagi
kesufiannya. Dengan kemartirannya dan kesediannya sebagai syuhada’ bagi
sufisme di Tanah Jawa itulah ia disebut sebagai Syekh Jatimurni, Guru
Pemilik Inti Kesejatian atau Pusar Ilmu Kasampurnan.
AJARAN TENTANG PENERAPAN RUKUN IMAN, ISLAM DAN IHSAN
Materi Pokok Pengajaran Syekh Siti Jenar
DELAPAN BELAS
“…Kepada mereka, Siti Jenar pertama-tama mengajarkan akan asal usul kehidupan, kedua diberitahukan akan pintu kehidupan. Ketiga, tempat besok bila sudah hidup kekal abadi, keempat alam kematian yaitu yang sedang dijalani sekarang ini. Lagipula mereka diberitahu akan adanya Yang Maha Luhur…” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh IV Sinom, 6-7).
“…Kepada mereka, Siti Jenar pertama-tama mengajarkan akan asal usul kehidupan, kedua diberitahukan akan pintu kehidupan. Ketiga, tempat besok bila sudah hidup kekal abadi, keempat alam kematian yaitu yang sedang dijalani sekarang ini. Lagipula mereka diberitahu akan adanya Yang Maha Luhur…” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh IV Sinom, 6-7).
Kepada pada muridnya, Syekh Siti Jenar
mengajarkan ilmu ma’rifat secata bertahap, yang harus dikuasai oleh
seseorang, jika ingin menjadi manusia sempurna (al-insan al-kamil),
serta bagi yang ingin menempuh laku manunggal dengan Tuhan. (1)
Pertama-tama Syekh Siti Jenar mengajarkan tentang asal-usul manusia
[ngelmu sangkan-paran]; (2) Langkah berikutnya, ia mengajarkan masalah
yang berkaitan dengan kehidupan, khususnya apa yang disebut sebagai
pintu kehidupan; (3) Langkah ketiga Syekh Siti Jenar menunjukkan tempat
manusia besok ketika sudah hidup kekal abadi; (4) Taham keempat, ia
menunjukkan tempat alam kematian, yaitu yang sedang dialami dan dijalani
manusia sekarang ini, di dunia ini, serta berbagai kiat cara
menghadapinya; (5) Langkah terakhir Syekh Siti Jenar mengajarkan tentang
adanya Tuhan Yang Maha Luhur yang menjadikan bumi dan angkasa, sebagai
pelabuhan akhir bagi kemanunggalan dan keabadian.
Sasahidan: Intisari Ajaran Syekh Siti Jenar
SEMBILAN BELAS
“Insun anakseni ing Datingsun dhewe, satuhune ora ana Pangeran amung Ingsun, lan nakseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun, iya sajatine kang aran Allah iku badan Ingsun, Rasul iku rahsaning-Sun, Muhammad iku cahyaning-Sun, iya Ingsun kang eling tan kena ing lali, iya Ingsun kan langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati, iya Ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya Ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora kukurangan ing pangerti, byar.. sampurna padhang terawang-an, ora karasa apa-apa, ora ana keton apa-apa, mung Insun kang nglimputi ing ngalam kabeh, kalawan kodrating-Sun.” (R. Ng. Ranggawarsita, WIRID Punika Serat Wirid Anyariyo-saken Wewejanganipun Wali VIII, Administrasi Jawi Kandha Surakarta, penerbit Albert Rusche & Co., Surakarta, 1908, hlm.15-16).
“Insun anakseni ing Datingsun dhewe, satuhune ora ana Pangeran amung Ingsun, lan nakseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun, iya sajatine kang aran Allah iku badan Ingsun, Rasul iku rahsaning-Sun, Muhammad iku cahyaning-Sun, iya Ingsun kang eling tan kena ing lali, iya Ingsun kan langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati, iya Ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya Ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora kukurangan ing pangerti, byar.. sampurna padhang terawang-an, ora karasa apa-apa, ora ana keton apa-apa, mung Insun kang nglimputi ing ngalam kabeh, kalawan kodrating-Sun.” (R. Ng. Ranggawarsita, WIRID Punika Serat Wirid Anyariyo-saken Wewejanganipun Wali VIII, Administrasi Jawi Kandha Surakarta, penerbit Albert Rusche & Co., Surakarta, 1908, hlm.15-16).
Terjemahan, “Aku angkat saksi di hadapan
Dzat-Ku sendiri, sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali Aku, dan Aku
angkat saksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku, sesungguhnya yg
disebut Allah Ingsun diri sendiri (badan-Ku), Rasul itu Rahsa-Ku,
Muhammad itu cahaya-Ku, Akulah Dzat yg hidup tidak akan terkena mati,
Akulah Dzat yang selalu ingat tidak pernah lupa, Akulah Dzat yg kekal
tidak ada perubahan dalam segala keadaan, (bagi-Ku) tidak ada yg samar
sesuatupun, Akulah Dzat yang Maha Menguasai, yang Kuasa dan Bijaksana,
tidak kekurangan dalam pengertian, sempurna terang benerang, tidak
terasa apa-apa, tidak kelihatan apa-apa, hanya Aku yg meliputi sekalian
alam dengan kodrat-Ku.”
Ajaran tersebut disebut sebagai ajaran
atau wejangan Sasahidan Serat Wirid Hidayat Jati merupakan naskah paling
terkenal hasil karya R. Ng. Ranggawarsita. Menurut R. Ng.
Ranggawarsita, naskah tersebut merupakan wejangan wali ke-8. wali VIII
yang dimaksud adalah Sunan Kajenar atau Syekh Siti Jenar. Ini sesuai
dengan pernyataan Ranggawarsita sendiri dalam naskah tersebut pada
halaman 5 dan 6, dimana wejangannya adalah Sasahidan atau Penyaksian.
Oleh Ranggawarsita, Sunan Kajenar disebut sebagai wali dalam dua
angkatan, yakni angkatan pertama di awal Kerajaan Demak dan angkatan
dua, yakni pada masa akhir Kerajaan Demak. Melihat pernyataan ini, logis
jika tahun wafatnya Syekh Siti Jenar ditetapkan pada tahun 1517, sebab
setelah kekuasaan Raden Fatah usia Kerajaan Demak tidak berlangsung
lama, disambung dengan Kerajaan Pajang.
Dari wejangan Sasahidan itu, nampaklah
pengalaman spiritual dan keadaan kemanunggalan pada diri Syekh Siti
Jenar terjadi dalam waktu yang lama, dan mendominasi keseluruhan wahana
batin Syekh Siti Jenar. Nampak juga bahwa dalam intisari ajaran
tersebut, konsistensi sikap batin dan sikap dzahir dari ajaran Syekh
Siti Jenar. Jika ilmu tidak ada yang dirahasiakan dalam pengajaran, maka
demikian pula pengalaman batin dari keagamaan juga tidak bisa
disembunyikan. Dan pengalaman keagamaan yang terlahir tidak harus
ditutup-tutupi walaupun dengan dalih dan selubung syari’at. Dan akhirnya
dalam ajaran Sasahidan itulah, semua ajaran Syekh Siti Jenar tersimpul.
Kemanunggalan Ke-Iman-an
DUA PULUH
“Adapun manunggalnya keimanan, itu menjadi tempat berkumpulnya jauhar (mutiara) Muhammad, terdiri atas 15 perkara, seperti perincian di bawah ini:
“Adapun manunggalnya keimanan, itu menjadi tempat berkumpulnya jauhar (mutiara) Muhammad, terdiri atas 15 perkara, seperti perincian di bawah ini:
a. Imannya imam, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah keberadaan Allah.
b.
Imannya tokide (tauhid), maksudnya adalah jangan ragu dan jangan
mensekutukan, engkau adalah panunggale (tempat manunggalnya) Allah.
c. Imannya syahadat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah sifatullah (sifatnya Allah).
d. Imannya ma’rifat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kewaspadaan Allah.
e. Imannya shalat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah menghadap Allah.
f. Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah.
g. Imannya takbir, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kepunyaan keangungan Allah.
h. Imannya saderah, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah pertemuan Allah.
i. Imannya kematian, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kesucian Allah.
j. Imannya junud, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah wadahnya Allah.
k.
Imannya jinabat, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan,
engkau adalah kawimbuhaning (bertambahnya ni’mat dan anugerah) Allah.
l. Imannya wudlu, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah asma (Nama) Allah.
m.Imannya kalam (perkataan), maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah ucapan Allah.
n. Imannya akal, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah juru bicara Allah.
o.
Imannya nur, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan,
engkau adalah wujudullah, yaitu tempat berkumpulnya seluruh jagat
(makrokosmos), dunia akhirat, surga neraka, ‘arsy kursi, loh kalam (lauh
al-kalam), bumi langit, manusia, jin, belis (iblis) laknat, malaikat,
nabi, wali, orang mukmin, nyawa semua, itu berkumpul di pucuknya jantung
yang disebut alam kiyal (‘alam al-khayal), maksudnya adalah
angan-angannya Tuhan, itulah yang agung yang disebut alam barzakh, yang
dimaksudnya adalah pamoring gusti kawula, yang disebut alam mitsal, yang
dimaksudnya adalah awal pengetahuan, yaitu kesucian dzat sifat asma
af’al, yang disebut alam arwah, maksudnya berkumpulnya nyawa yang adalah
dipenuhi sifat kamal jamal.” (Wedha Mantra, hlm. 54-55).
Ajaran tersebut terkenal dengan sebutan
panunggaling iman. Dari aplikasi iman dalam bentuk keimanan Manunggaling
Kawula-Gusti tersebut tampak, bahwa fungsi manusia sebagai
khalifatullah (wakil real Allah) di muka bumi betul-betul nyata. Manusia
adalah cermin dan pancaran wujud Allah, dengan fungsi iradah dan kodrat
yang berimbang. Semua bentuk syari’at agama ternyata memiliki wujud
implementasi bagi tekad hatinya, sekaligus ditampakkan melalui tingkah
lahiriyahnya.
Jelas sudah bahwa dalam sistem sufisme
Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan,
engkau adalah kehidupannya Allah, ajaran “langit” Allah berhasil
“dibumikan” oleh Imannya kehidupan, maksudnya adalah jangan ragu dan
jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya Allah. Melalui doktrin
utama Manunggaling Kawula-Gusti. Manusia diajak untuk membuktikan
keberadaan Allah secara langsung, bukan hanya memahami “keberadaan” dari
sisi nalar-pikir (ilmu) dan rasa sentimen makhluk (perasaan yang
dipaksa dengan doktrin surga dan neraka). Imannya kehidupan, maksudnya
adalah jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau adalah kehidupannya
Allah. Mengajarkan dan mengajak manusia bersama-sama “merasakan” Allah
dalam diri pribadi masing-masing.
DUA PULUH SATU
Adapun yang menjadi maksud:
Adapun yang menjadi maksud:
a. Iman, adalah pangandeling (pusaka andalan), roh.
b. Tokid (tauhid), panunggale (saudara tak terpisah, tempat manunggal) roh.
c. Ma’rifat, penglihatan roh.
d. Kalbu, penerimaan (antena penerima) roh.
e. Akal, pembicaraannya roh.
f. Niat, pakaremaning roh.
g. Shalat, menghadapnya roh.
h. Syahadat, keadaan roh.” (Wedha Mantra, hlm. 54).
Pernyataan Syekh Siti
Jenar tersebut mempertegas maksud Manunggalnya Iman di atas. Di dalam
hal ini, Syekh Siti Jenar menjelaskan maksud dari masing-masing doktrin
pokok tauhid dan fiqih ketika dikaitkan dengan spiritual. Iman, tauhid,
ma’rifat, qalbu, dan akal adalah doktrin pokok dalam wilayah tauhid; dan
niat, shalat serta syahadat adalah doktrin pokok fiqih. Oleh Syekh Siti
Jenar semua itu sirangkai menjadi bentuk perbuatan roh manusia,
sehingga masing-masing memiliki peran dan fungsi yang dapat menggerakkan
seluruh kepribadian manusia, lahir dan batin, roh dan jasadnya. Itulah
makna keimanan yang sesungguhnya. Sebab rukun iman, rukun Islam dan
ihsan pada hakikatnya adalah suatu kesatuan yang utuh yang membentuk
kepribadian illahiyah pada kedirian manusia.
DUA PULUH DUA
“Yang disebut kodrat itu yang berkuasa, tiada yang mirip atau yang menyamai. Kekuasaannya tanpa piranti, keadaan wujudnya tidak ada baik luar maupun dalam merupakan kesantrian yang beraneka ragam. Iradatnya artinya kehendak yang tiada membicarakan, ilmu untuk mengetahui keadaan, yang lepas jauh dari pancaindera bagaikan anak gumpitan lepas tertiup.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandangula, 31).
“Yang disebut kodrat itu yang berkuasa, tiada yang mirip atau yang menyamai. Kekuasaannya tanpa piranti, keadaan wujudnya tidak ada baik luar maupun dalam merupakan kesantrian yang beraneka ragam. Iradatnya artinya kehendak yang tiada membicarakan, ilmu untuk mengetahui keadaan, yang lepas jauh dari pancaindera bagaikan anak gumpitan lepas tertiup.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandangula, 31).
Bagi Syekh Siti Jenar, kodrat dan iradat
bukanlah hal yang terpisah dari manusia, dan bukan mutlak milik Allah.
Kodrat dan iradat menurut Syekh Siti Jenar terkait erat dengan
eksistensi sang Pribadi (manusia). Pribadi adalah eksistensi roh. Maka
jika roh adalah pancaran cahaya-Nya, pribadi adalah tajalli-Nya,
penjelmaan Diri-Nya. Pribadi adalah Allah yang menyejarah. Maka Syekh
Siti Jenar mengemukakan bahwa dirinya adalah sang pemilik dua puluh
sifat ketuhanan. Oleh karena itu kodrat merupakan kuasa pribadi, sifat
yang melekat pada pribadi sejak zaman azali dan itu langgeng. Demikian
pula adanya iradat, kehendak atau keinginan.
Antara karsa, keinginan dan kuasa, adalah
hal yang selalu berkelindan bagi wujud keduanya. Tentu menyangkut
kehendak, setiap pribadi memiliki karsa yang mandiri dan yang berhak
merumuskan hanyalah “perundingan” antara pemilik iradah dengan Yang Maha
Memiliki Iradah. Kemudian untuk mewujudkan rasa cipta itu, perlu juga
pelimpahan kodrat Allah pada manusia. Untuk itu semua, Syekh Siti Jenar
mendidik manusia untuk mengetahui Yang Maha Kuasa, dan mengetahui letak
pintu kehidupan serta kematian. Tujuannya jelas, agar manusia menjadi
Pribadi Sejati, pemilik iradah dan kodrat bagi dirinya sendiri.
Syahadat
DUA PULUH TIGA
“Inilah maksud syahadat: ‘Ashadu;jatuhnya rasa, ilaha;kesejatian rasa, illallah; bertemu rasa. Muhammad hasil karya yang maujud, Pangeran; kesejatian kehidupan.”
“Inilah maksud syahadat: ‘Ashadu;jatuhnya rasa, ilaha;kesejatian rasa, illallah; bertemu rasa. Muhammad hasil karya yang maujud, Pangeran; kesejatian kehidupan.”
Dalam hal syahadat ini, Syekh Siti Jenar
mengajarkan berbagai macam syahadat dan hal itu selaras dengan konsep
utama ajarannya, manunggaling kawula-Gusti, serta tetap di atas fondasi
ajaran shalat daim. Syahadat dalam hal ini, adalah menjadi keadaan roh,
bukan sekedar ucapan lisan, dan hasil pengolahan nalar-pikiran, atau
bisikan hati. Susunan kalimat syahadat adalah campuran bahasa Arab dan
bahasa Jawa. Hal ini menjadi kebiasaan Syekh Siti Jenar dalam
mengajarkan ajaran-ajarannya, sehingga dengan mudah dan gamblang murid
serta pengikutnya mampu memahami dan mengamalkan ajaran tersebut, tanpa
kesulitan akibat kendala bahasa.
Beberapa wali di Jawa, selain Syekh Siti
Jenar juga memiliki dan mengajarkan syahadat. Misalnya syahadat Sunan
Giri, “Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana sinarawedi, sahadu
minangka kencana sinarawedi, dzat sukma kang ginawa mati, kurungan mas
ilang tanpa kerana, sira muliha maring kubur.” Syahadat Sunan Bonang,
“Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana, linggih ing maligi mas,
ulir sjroh-ning geni muskala, ilang ing kawulat aja kari, ya hu ya hu ya
hu, sirna kurungan tanpa kerana.” Dan syahadat Sunan Kalijaga,
“Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana, kurungan mas, kuliting jati
sajatining sukma, ginawa mati, sirna tan ana kari, sukma ilang jiwa
ilang, kang lunga padha rupane, dap lap ilang,” (Wejangan Walisanga,
hlm. 50).
Dibawah ini adalah aplikasi syahadat
menurut Syekh Siti Jenar. Sebagian syahadat yang ada merupakan dzikir
dan wirid ketika Syekh Siti Jenar mengajarkan cara melepaskan air
kehidupan (tirta nirmaya) untuk membuka pintu kematian menuju kehidupan
sejati di alam akhirat. Syahadat-syahadat sejenis juga diajarkan oleh Ki
Ageng Pengging kepada Sunan Kudus, sebelum wafatnya.
Jatunya rasa (tibaning rasa) maksudnya
adalah meresapnya Allah dalam kehendak dan kedalaman jiwa. Ini kemudian
dipupuk dengan laku spiritual yang melahirkan sajatining rasa
(kesejatian rasa), di mana ruang keseluruhan jiwa telah terdominasi oleh
al-Haqq (Allah). Kemudian lahirlah ungkapan illallah sebagai puncak,
yakni pertemuan rasa, manunggalnya yang mengungkapkan “asyhadu” dengan
sarana ungkapan, yakni Allah. Kemanunggalan ini memunculkan tenaga dan
energi kreativitas positif, dalam bentuk karya yang berbentuk nyata,
bermanfaat dan berdaya guna, serta bersifat langgeng, yang
diidentifikasikan dengan sebutan Muhammad (Yang Memiliki Segala
Keterpujian) sebagai perwujudan riil dari sang Wajib al-Wujud. Maka diri
manusia sebagai ”Pangeran” (Tuhan) itulah yang perupakan kesejatian
hidup atau kehidupan. Syahadat dalam sistem ajaran Syekh Siti Jenar
bukanlah hanya sekedar bentuk pengakuan lisan yang berupa syahadat
tauhid dan syahadat rasul. Namun syahadat adalah persaksian batin, yang
teraplikasi dalam tindakan dzahir sebagai wujud kemanunggalan
kawula-Gusti. Dengan demikian syahadat mampu melahirkan karya-karya yang
bermanfaat.
DUA PULUH EMPAT
“Mengertilah, bahwa sesungguhnya ini syahadat sakarat, jika tidak tau maka sekaratnya masih mendapatkan halangan, hidupnya dan matinya hanya seperti hewan. Lafalnya mengucapkan adalah : “Syahadat Sakarat Sajati, iya Syahadat Sakarat, wus gumanang waluya jati sirne eling mulya maring tunggal, waluya jati iya sajatining rasa, lan dzat sajatining dzat pesthi anane langgeng tan kenaning owah, dzat sakarat roh madhep ati muji matring nyawa, tansah neng dzatullah, kurungan mas melesat, eling raga tan rusak sukma mulya Maha Suci.” (Mantra Wedha, bab 205, hlm. 53).
“Mengertilah, bahwa sesungguhnya ini syahadat sakarat, jika tidak tau maka sekaratnya masih mendapatkan halangan, hidupnya dan matinya hanya seperti hewan. Lafalnya mengucapkan adalah : “Syahadat Sakarat Sajati, iya Syahadat Sakarat, wus gumanang waluya jati sirne eling mulya maring tunggal, waluya jati iya sajatining rasa, lan dzat sajatining dzat pesthi anane langgeng tan kenaning owah, dzat sakarat roh madhep ati muji matring nyawa, tansah neng dzatullah, kurungan mas melesat, eling raga tan rusak sukma mulya Maha Suci.” (Mantra Wedha, bab 205, hlm. 53).
(Syahadat Sakarat Sejati adalah Syahadat
Sakarat [Menjelang dan proses datangnya pintu kematian], sudah nyata
penuh kesempatan hilangnya ingatan kemuliaan kepada yang tunggal,
keselamatan dan kesentosaan itu adalah sejatinya kehidupan, tunggal
sejatinya hidup, hidup sejatinya rasa dan sejatinya rasa dan dzat
sejatinya dzat pasti dalam keberadaan kelanggengan tidak terkena
perubahan, dzat sekarat roh menghadap hati memuji nyawa, selalu berada
dalam dzatullah, sangkar mas hilang, mengingat raga tidak terkena
kerusakan sukma mulia Maha Suci).
Syahadat Sakarat adalah syahadat atau
persaksian menjelang kematian. Sebagaimana diketahui, bahwa salah satu
ajaran Syekh Siti Jenar adalah kemampuan memadukan iradah dan qudrat
diri dengan iradah dan qudrat Ilahi, sebagai efek kemanunggalan.
Sehingga apa yang menjadi ilmu Allah, maka itu adalah ilmu diri manusia
yang manunggal. Maka orang yang sudah meninggal mencapai al-Insan
al-Kamil, juga mengetahui kapan saatnya dia meninggalkan alam kematian
di dunia ini, menuju alam kehidupan sejati di akhirat, untuk menyatu
selamanya dengan Allah. Syahadat sekarat yang terpapar di atas, adalah
syahadat sakarat yang bersifat umum, sebab nanti masih ada beberapa
syahadat. Semua syahadat yang diajarkan Syekh Siti Jenar menjadi lafal
harian atau dzikir, terutama saat menjelang tidur, agar dalam kondisi
tidur juga tetap berada dalam kondisi kemanunggalan iradah dan qodrat.
Namun syahadat-syahadat yang ada tidak hanya sekedar ucapan, sebab saat
pengucapan harus disertai dengan laku (meditasi) dan paling tidak
mengheningkan daya cipta, rasa dan karsa, sehingga lafal-lafal yang
berupa syahadat tersebut, menyelusup jauh ke dalam diri atau dalam
sukma.
DUA PULUH LIMA
“Syahadat Allah, Allah, Allah lebur badan, dadi nyawa, lebur nyawa dadi cahya, lebur cahya dadi idhafi, lebur idhafi dadi rasa, lebur rasa dadi sirna mulih maring sajati, kari amungguh Allah kewala kang langgeng tan kena pati.” (syahadat Allah, Allah, Allah badan lebur menjadi (roh) idhafi, (roh) idhafi lebur menjadi rasa, rasa lebur sirna kembali kepada yang sejati, tinggallah hanya Allah semata yang abadi tidak terkena kematian). [Mantra Wedha, hlm. 53).
“Syahadat Allah, Allah, Allah lebur badan, dadi nyawa, lebur nyawa dadi cahya, lebur cahya dadi idhafi, lebur idhafi dadi rasa, lebur rasa dadi sirna mulih maring sajati, kari amungguh Allah kewala kang langgeng tan kena pati.” (syahadat Allah, Allah, Allah badan lebur menjadi (roh) idhafi, (roh) idhafi lebur menjadi rasa, rasa lebur sirna kembali kepada yang sejati, tinggallah hanya Allah semata yang abadi tidak terkena kematian). [Mantra Wedha, hlm. 53).
Syahadat paleburan diucapkan ketika
(menjalani keheningan = samadhi), menyatukan diri kepada Allah. Lafal
tersebut lahir dari pengalaman Syekh Siti Jenar ketika memasuki
relung-relung kemanunggalan, di mana jasad fisiknya ditinggalkan rohnya,
sesudah semua nafs dalam dirinya mengalami kasyaf.
DUA PULUH ENAM
“Ashadu-ananingsun, la ilaha rupaningsun, illallah – Pangeransun, satuhune ora ana Pangeran angging Ingsun, kang badan nyawa kabeh” (ashadu-keberadaanku, la ilaha – bentuk wajahku, illallah – Tuhanku, sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku, yaitu badan dan nyawa seluruhnya).
“Ashadu-ananingsun, la ilaha rupaningsun, illallah – Pangeransun, satuhune ora ana Pangeran angging Ingsun, kang badan nyawa kabeh” (ashadu-keberadaanku, la ilaha – bentuk wajahku, illallah – Tuhanku, sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku, yaitu badan dan nyawa seluruhnya).
Inilah yang disebut Syahadat Sajati.
Pengakuan sejati ini adalah ungkapan yang sebenarnya bersifat
biasa-biasa saja, di mana ungkapan tersebut lahir dari hati dan rohnya,
sehingga dari ungkapan yang ada dapat diketahui sampai di mana tingkatan
tauhidnya (tauhid dalam arti pengenalan akan ke-Esaan Allah), bukan
sekedar pengenalan akan nama-nama Allah.
DUA PULUH TUJUH
“Sakarat pujine pati, maksude napas pamijile napas, kaketek meneng-meneng, iya iku sing ameneng, pati sukma badan, mulya sukma sampurna, mulih maring dzatullah, Allah kang bangsa iman, iman kang bangsa nur, nur kang bangsa Rasulullah, iya shalat albar, Muhammad takbirku, Allah Pangucapku, shalat jati asembahyang kalawan Allah, ora ana Allah, ora ana Pangeran, amung iku kawula tunggal, kang agung kang kinasihan.” (mantra Wedha, hlm. 53).
“Sakarat pujine pati, maksude napas pamijile napas, kaketek meneng-meneng, iya iku sing ameneng, pati sukma badan, mulya sukma sampurna, mulih maring dzatullah, Allah kang bangsa iman, iman kang bangsa nur, nur kang bangsa Rasulullah, iya shalat albar, Muhammad takbirku, Allah Pangucapku, shalat jati asembahyang kalawan Allah, ora ana Allah, ora ana Pangeran, amung iku kawula tunggal, kang agung kang kinasihan.” (mantra Wedha, hlm. 53).
“Sekarat ku kemuliaan kematian, maksudnya
adalah napas munculnya napas, yang hilang berangsur-angsur secara
diam-diam, yaitu yang kemudian diam, kematian sebagai sukma badan-wadag,
kemuliaan sukma kesempurnaan, kembali kepada dzatullah, Allah sebagai
labuhan iman, iman yang berbentuk cahaya, cahaya yang berwujud
Rasulullah, yaitu adalah shalat yang agung, Muhammad sebagai takbirku,
Allah sebagai ucapanku, shalat sejati menyembah Allah, tidak ada Allah
tidak ada Tuhan, hanyalah aku (kawula) yang tunggal saja, yang agung dan
dikasihi.”
Ini adalah Syahadat Sakarat Permulaan
Kematian. Ketika seseorang sudah melihat akhir hayatnya, maka orang
tersebut diajarkan untuk memperbanyak melafalkan dan mengamalkan
“syahadat sakarat wiwitane pati” ini.
DUA PULU DELAPAN
“Ashadu ananingsun, anuduhake marga kang padhang, kang urip tan kenaning pati, mulya tan kawoworan, elinge tan kena lali, iya rasa iya rasulullah, sirna manjing sarira ening, sirna wening tunggal idhep jumeneng langgeng amisesa budine, angen-angene tansah amadhep ing Pangeran.” (mantra Wedha, hlm. 54).
“Ashadu ananingsun, anuduhake marga kang padhang, kang urip tan kenaning pati, mulya tan kawoworan, elinge tan kena lali, iya rasa iya rasulullah, sirna manjing sarira ening, sirna wening tunggal idhep jumeneng langgeng amisesa budine, angen-angene tansah amadhep ing Pangeran.” (mantra Wedha, hlm. 54).
(Ashadu keberadaanku, yang menunjukkan
jalan yang terang, yang hidup tidak terkena kematian, yang mulia tanpa
kehinaan, kesadaran yang tidak terkena kematian, yang mulia tanpa
kehinaan, kesadaran yang tidak terkena lupa, itulah rasa yang tidak lain
adalah Rasulullah, selesailah berada di alam terang, itulah hakikat
Rasulullah, hilang musnah ketempat wujud yang hening, hilang keheningan
menyatu-tunggal menempati secara abadi memelihara budi, angan-angan
selalu menghadap Tuhan).
Syahadat Sekarat Hati pada hakikatnya
adalah syahadat Nur Muhammad. Suatu penyaksian bahwa kedirian manusia
adalah bagian dari Nur Muhammad. Dari inti syahadat ini, jelas bahwa
kematian manusia bukanlah jenis kematian pasif, atau kematian negatif,
dalam arti kematian yang bersifat memusnahkan. Kematian dalam pandangan
sufisme Syekh Siti Jenar hanya sebagai gerbang menuju kemanunggalan, dan
itu harus memasuki alam Nur Muhammad. Bentuk konkretnya, dalam
pengalaman kematian itu, orang tersebut tidaklah kehilangan akan
kesadaran manunggal-Nya. Ia melanglang buana menuju asal muasal hidup.
Oleh karenanya keadaan kematiannya bukanlah suatu kehinaan sebagaimana
kematian makhluk selain manusia. Di sinilah arti penting adanya syafa’at
sang Utusan (Rasulullah) dalam bentuk Nur Muhammad atau hakikat
Muhammad. Nur Muhammad adalah roh kesadaran bagi tiap Pribadi dalam
menuju kemanunggalannya. Sehingga dengan Nur Muhammad itulah maka
pengalaman kematian oleh manusia, bagi Syekh Siti Jenar bukan sejenis
kematian yang pasif, atau kematian yang negatif, dalam arti kematian
dalam bentuk kemusnahan sebagaimana yang terjadi terhadap hewan.
Kematian itu adalah sesuatu aktivitas
yang aktif. Sebab ia hanyalah pintu menuju keadaan manunggal. Dalam
ajaran Syekh Siti Jenar yang diperuntukkan bagi kaum ‘awam (orang yang
belum mampu mengalami Manunggaling Kawula-Gusti secara sempurna) di
atas, nampak bahwa dalam kematian itu, seseorang tetap tidak kehilangan
kesadaran kemanunggalannya. Dengan hakikat Muhammadnya ia tetap sadar
dalam pengalaman kematian itu, bahwa ia sedang menempuh salah satu
lorong manunggal. Melalui lorong itulah kediriannya menuju persatuan
dengan Sang Tunggal. Kematian manusia adalah proses aktif sang al-Hayyu
(Yang Maha Hidup), sehingga hanya dengan pintu yang dinamakan kematian
itulah, manusia menuju kehidupan yang sejati, urip kang tan kena pati,
hidup yang tidak terkena kematian.
DUA PULUH SEMBILAN
“Syahadat Panetep panatagama, kang jumeneng roh idlafi, kang ana telenging ati, kang dadi pancere urip, kang dadi lajere Allah, madhep marang Allah, iku wayanganku roh Muhammad, iya, iku sajatining manusia, iya iku kang wujud sampurna. Allahumma kun walikun, jukat astana Allah, pankafatullah ya hu Allah, Muhammad Rasulullah.” (mantra Wedha, hlm. 54).
“Syahadat Panetep panatagama, kang jumeneng roh idlafi, kang ana telenging ati, kang dadi pancere urip, kang dadi lajere Allah, madhep marang Allah, iku wayanganku roh Muhammad, iya, iku sajatining manusia, iya iku kang wujud sampurna. Allahumma kun walikun, jukat astana Allah, pankafatullah ya hu Allah, Muhammad Rasulullah.” (mantra Wedha, hlm. 54).
(Syahadat Penetap Panatagama, yang
menempati roh idlafi, yang ada di kedalaman hati, yang menjadi sumbernya
kehidupan, yang menjadi bertempatnya Allah, menghadap kepada Allah,
bayanganku adalah roh Muhammad, yaitu sejatinya manusia, yaitu wujudnya
yang sempurna. Allahumma kun walikun jukat astana Allah, pankafatullah
ya hu Allah, Muhammad Rasulullah).
Syahadat ini adalah sejenis syahadat
netral, yakni yang memiliki fungsi dan esensi yang umum. Pengucapannya
tidak berhubungan dengan waktu, tempat, dan keadaan tertentu sebagaimana
syahadat yang lain. Hakikat syahadat ini hanyalah berfungsi untuk
meneguhkan hati akan tauhid al-wujud.
TIGA PULUH
“Ini adalah syahadat sakaratnya roh (pecating nyawa), yang meliputi empat perkara :
“Ini adalah syahadat sakaratnya roh (pecating nyawa), yang meliputi empat perkara :
1.
Ketika roh keluar dari jasad, yakni ketika roh ditarik sampai pada
pusar, maka bacaan syahadatnya adalah, “la ilaha illalah, Muhammad
rasulullah.”
2. Kemudian, ketika roh ditarik dari pusar sampai ke hati, syahadat rohnya adalah “la ilaha illa Anta”.
3. Kemudian roh ditarik sampai otak, maka syahadatnya “la ilaha illa Huwa”.
4.
Maka kemudian roh ditarik dengan halus. Saat itu sudah tidak mengetahui
jalannya keluar roh dalam proses sekarat lebih lanjut. Sekaratnya
manusia itu sangat banyak sakitnya, seakan-akan hidupnya sekejap mata,
sakitnya sepuluh tahun. Dalam keadaan seperti itulah manusia kena cobaan
setan, sehingga kebanyakkan kelihatan bahwa kalau tidak melihat jalan
keluarnya roh menjadi lama dalam proses sekaratnya. Jika rohnya tetap
mendominasi kesadarannya, tidak kalah oleh sifat setan, maka syahadatnya
roh adalah “la ilaha illa Ana”. (Mantra Wedha, bab 211, hlm. 57).
Ajaran tentang syahadat
pecating nyawa tersebut diberikan oleh Syekh Siti Jenar bagi orang yang
belum mampu menempuh laku manusia manunggal, sehingga diperlukan
prasyarat lahiriyah yang berupa syahadat pecating nyawa tersebut. Bagi
yang sudah mampu menempuh laku manunggal, maka prosesnya seperti yang
dilakukan Syekh Siti Jenar, kematian bukan masalah kapan ajalnya datang,
juga bukan masalah waktu. Kematian termasuk dalam salah satu agenda
manunggalnya iradah dan qudrat kawula Gusti dan sebaliknya.
Kalau diperhatikan secara seksama, ajaran
Syekh Siti Jenar yang dikhususkan bagi kalangan ‘awam (yang tidak mampu
mengalami Manunggaling Kawula Gusti secara sempurna) tersebut hampir
sama dengan ajaran Syuhrawardi.
Shalat (tarek dan Daim)
Syekh Siti Jenar
mengajarkan dua macam bentuk shalat, yang disebut shalat tarek dan
shalat daim. Shalat tarek adalah shalat thariqah, diatas sedikit dari
syari’at. Shalat tarek diperuntukkan bagi orang yang belum mampu untuk
sampai pada tingkatan Manunggaling Kawula Gusti, sedang shalat daim
merupakan shalat yang tiada putus sebagai efek dari kemanunggalannya.
Sehingga shalat daim merupakan hasil dari pengalaman batin atau
pengalaman spiritual. Ketika seseorang belum sanggup melakukan hal itu,
karena masih adanya hijab batin, maka yang harus dilakukan adalah shalat
tarek. Shalat tarek masih terbatas dengan adanya lima waktu shalat,
sedang shalat daim adalah shalat yang tiada putus sepanjang hayat,
teraplikasi dalam keseluruhan tindakan keseharian ( penambahan, mungkin
efeknya adalah berbentuk suci hati, suci ucap, suci pikiran ); pemaduan
hati, nalar, dan tindakan ragawi.
Kata “tarek” berasal dari kata Arab
“tarki” atau “tarakki” yang memiliki arti pemisahan. Namun maksud lebih
mendalam adalah terpisahnya jiwa dari dunia, yang disusul dengan
tanazzul (manjing)-nya al-Illahiyah dalam jiwa. Shalat tarek yang
dimaksud di sini adalah shalat yang dilakukan untuk dapat melepaskan
diri dari alam kematian dunia, menuju kemanunggalan. Sehingga menurut
Syekh Siti Jenar, shalat yang hanya sekedar melaksanakan perintah
syari’at adalah tindakan kebohongan, dan merupakan kedurjanaan budi.
Pengambilan shalat tarek ini berasal dari
Kitab Wedha Mantra bab 221; Shalat Tarek Limang Wektu. (Sang Indrajit:
1979, hlm. 63-66).
Keterangan bagi yang mengamalkan ilmu shalat tarek lima waktu ini.
(Semua hal yang berkaitan dengan shalat tarek ini diterjemahkan dengan apa adanya dari Kitab Wedha Mantra. Makna terjemahan yang bertanda kutip hanyalah arti untuk memudahkan pemahaman. Adapun maksud dan substansi yang ada dalam kalimat-kalimat asli dalam bahasa Jawa-Kawi, lebih mendalam dan luas dari pemahaman dan terjemahan diatas.(penulisnya wanti-wanti banget). Pelaksanaan shalat tarek bisa saja diamalkan bersamaan dengan shalat syari’at sebagaimana biasa, bisa juga dilaksanakan secara terpisah. Hanya saja terdapat perbedaan dalam hal wudlunya. Jika dalam shalat syari’at, anggota wudhu yang harus dibasuh adalah wajah, tangan, sebagian kepala, dan kaki, sementara dalam shalat tarek adalah di samping tempat-tempat tersebut, harus juga membasuh seluruh rambut, tempat-tempat pelipatan anggota tubuh, pusar, dada, jari manis, telinga, jidat, ubun-ubun, serta pusar tumbuhnya rambut (Jawa; unyeng-unyengan). Walhasil wudlu untuk shalat tarek sama halnya dengan mandi besar (junub/jinabat).
(Semua hal yang berkaitan dengan shalat tarek ini diterjemahkan dengan apa adanya dari Kitab Wedha Mantra. Makna terjemahan yang bertanda kutip hanyalah arti untuk memudahkan pemahaman. Adapun maksud dan substansi yang ada dalam kalimat-kalimat asli dalam bahasa Jawa-Kawi, lebih mendalam dan luas dari pemahaman dan terjemahan diatas.(penulisnya wanti-wanti banget). Pelaksanaan shalat tarek bisa saja diamalkan bersamaan dengan shalat syari’at sebagaimana biasa, bisa juga dilaksanakan secara terpisah. Hanya saja terdapat perbedaan dalam hal wudlunya. Jika dalam shalat syari’at, anggota wudhu yang harus dibasuh adalah wajah, tangan, sebagian kepala, dan kaki, sementara dalam shalat tarek adalah di samping tempat-tempat tersebut, harus juga membasuh seluruh rambut, tempat-tempat pelipatan anggota tubuh, pusar, dada, jari manis, telinga, jidat, ubun-ubun, serta pusar tumbuhnya rambut (Jawa; unyeng-unyengan). Walhasil wudlu untuk shalat tarek sama halnya dengan mandi besar (junub/jinabat).
Bahwa kematian orang yang menerapkan ilmu
ini masih terhenti pada keduniaan, akan tetapi sudah mendapatkan
balasan surga sendiri. Maka paling tidak ujaran-ujaran shalat tarek ini
hendaknya dihafalkan, jangan sampai tidak, agar memperoleh kesempurnaan
kematian.
Bagi yang akan membuktikan, siapa saja yang sudah melaksanakan ilmu ini, dapat saja dibuktikan. Ketika kematian jasadnya didudukkan di daratan (di atas tanah), di kain kafan serta diberi kain lurub (penutup) serta selalu ditunggu, kalau sudah mendapatkan dan sampai tujuh hari, bisa dibuka, niscaya tidak akan membusuk, (bahkan kalau iradah dan qudrahnya sudah menyatu dengan Gusti), jasad dalam kafan tersebut sudah sirna. Kalau dikubur dengan posisi didudukkan, maka setelah mendapat tujuh hari bisa digali kuburnya, niscaya jasadnya sudah sirna, dan yang dikatakan bahwa sudah menjadi manusia sempurna. Maka karena itu, orang yang menerapkan ilmu ini, sudah menjadi manusia sejati.
Bagi yang akan membuktikan, siapa saja yang sudah melaksanakan ilmu ini, dapat saja dibuktikan. Ketika kematian jasadnya didudukkan di daratan (di atas tanah), di kain kafan serta diberi kain lurub (penutup) serta selalu ditunggu, kalau sudah mendapatkan dan sampai tujuh hari, bisa dibuka, niscaya tidak akan membusuk, (bahkan kalau iradah dan qudrahnya sudah menyatu dengan Gusti), jasad dalam kafan tersebut sudah sirna. Kalau dikubur dengan posisi didudukkan, maka setelah mendapat tujuh hari bisa digali kuburnya, niscaya jasadnya sudah sirna, dan yang dikatakan bahwa sudah menjadi manusia sempurna. Maka karena itu, orang yang menerapkan ilmu ini, sudah menjadi manusia sejati.
Sedangkan tentang ilmu ini, bukanlah
manusia yang mengajarkan, cara mendapatkannya adalah hasil dari
laku-prihatin, berada di dalam khalwat (meditasi, mengheningkan cipta,
menyatu karsa dengan Tuhan sebagaimana diajarkan Syekh Siti Jenar).
Tentang anjuran untuk pembuktian di atas,
sebenarnya tidak diperlukan, sebab yang terpenting adalah penerapan
pada diri kita masing-masing. Justru pembuktian paling efektif adalah
jika kita sudah mengaplikasikan ilmu tersebut. Apalagi pembuktian
seperti itu jika dilaksanakan akan memancing kehebohan, sebagaimana
terjadi dalam kasus kematian Syekh Siti Jenar serta para muridnya.
TIPULUH SATU
Shalat Subuh
Shalat Subuh
Niat yang paling awal,
“Niyatingsun shalat, roh Kudus kang shalat, iya iku rohing Allah. Allah
iku lungguh ana ing paningal, shalat iku sajrone shalat ana gusti,
sajroning gusti ana sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa
ana urip, sajro-ning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep
mantep weruh ing awakku.”
(Aku berniat shalat, roh Kudus yang
melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Allah. Allah yang menempati
penglihatan, shalat yang di dalam shalat itu ada gusti, di dalam gusti
ada sukma, di dalam sukma ada nyawa, di dalam nyawa terdapat kehidupan,
di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah
ta’ala, Allahu akbar tetap mantap mengerti akan diriku sendiri).
Malaikatnya adalah Haruman (malaikat Rumman), memujinya dengan “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat, sirku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep madhep langgeng weruh ing sirku.”
(Aku berniat shalat, sir [rahasia]-ku
yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap menghadap
dengan abadi mengerti akan sir [rahasia]-ku).
Malaikatnya Haruman, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “ya Rajamu, ya Rajaku.” (Arab; Ya maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah
giri-giri Allah, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe
jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat
berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus
kali.
Kemudian berdzikir,
“Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.” (Sungguh sudah kena
Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan
dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”, (Sungguh
sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
TIGA PULUH DUA
Shalat Luhur
Shalat Luhur
Niat yang paling awal,
“Niyatingsun shalat, roh idlafi kang shalat, iya iku rohing Pangeran.
Pangeran iku lungguhe ana ing kaketek, shalat iku sajroning sukma,
sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana
eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing Pangeranku.”
(Aku berniat shalat, roh Idlafi yang melaksanakan shalat, yaitulah
rohnya Tuhan. Tuhan yang menempati ketiak, shalat yang di dalam sahalat
itu ada gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung
nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat
kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap
mantap mengerti akan Tuhanku). Malaikatnya adalah Jabarail (malaikat
Jibril), memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun
shalat, kang shalat osikku, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep
madhep langgeng weruh ing osikku.” (Aku berniat shalat, yang shalat
bisikan dan gerak hatiku, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap
mantap menghadap dengan abadi mengerti akan bisikan nuraniku).
Malaikatnya Jabarail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Malaikatnya Jabarail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah
giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung
agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia
tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta).
Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”,
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
TIGA PULUH TIGA
Shalat ‘Ashar
Shalat ‘Ashar
Niat yang paling awal,
“Niyatingsun shalat, roh Abadi kang shalat, iya iku rohing Rasul. Rasul
iku lungguhe ana ing poking ilat, shalat iku sajroning sukma, sajroning
sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling,
pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing Rasulku.”
(Aku berniat shalat,
roh keabadian yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Utusan. Utusan
Tuhan yang menempati ujung lidah, shalat yang di dalam sahalat itu ada
gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di
dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran
menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap
mengerti akan Utusanku).
Malaikatnya adalah Mikail, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun
shalat, angen-angenku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep
mantep madhep langgeng weruh ing angen-angenku.”
(Aku berniat shalat,
angan-anganku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap
mantap menghadap dengan abadi mengerti akan angan-anganku).
Malaikatnya Mikail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah
giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung
agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia
tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta).
Seratus kali.
Kemudian berdzikir,
“Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.” (Sungguh sudah kena
Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan
dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”, (Sungguh
sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
TIGA PULUH EMPAT
Shalat Maghrib
Shalat Maghrib
Niat yang paling awal,
“Niyatingsun shalat, rokhani kang shalat, iya iku rohing Muhammad.
Muhammad iku lungguhe ana ing talingan, shalat iku sajroning sukma,
sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana
eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing Muhammadku.”
(Aku berniat shalat,
rohani yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Muhammad. Muhammad yang
menempati ujung telinga, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti,
didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam
nyawa adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran
menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap
mengerti akan Muhammadku).
Malaikatnya adalah Israfil, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat, tekadku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh ing tekadku.”
(Aku berniat shalat,
tekadku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap
menghadap dengan abadi mengerti akan tekadku).
Malaikatnya Israfil, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah
giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung
agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia
tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta).
Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan
dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”, (Sungguh
sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
TIGA PULUH LIMA
Shalat ‘Isya’
Shalat ‘Isya’
Niat yang paling awal,
“Niyatingsun shalat, roh Robbi kang shalat, iya iku rohing urip. urip
iku lungguhe ana ing napas, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma
ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu
ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing uripku.”
(Aku berniat shalat,
roh Pembimbing yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya kehidupan.
Utusan Tuhan yang menempati napas, shalat yang di dalam sahalat itu ada
gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di
dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran
menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap
mengerti akan kehidupanku).
Malaikatnya adalah Izrail, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat, karepku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh ing karepku.”
(Aku berniat shalat,
keinginanku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap
mantap menghadap dengan abadi mengerti akan keinginanku).
Malaikatnya Izrail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah
giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung
agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia
tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta).
Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan
dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”, (Sungguh
sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.
TIGA PULUH ENAM
“Inilah shalat satu raka’at salam, yang dilaksanakan setiap tanggal (bulan purnama), dengan waktu tengah malam tepat :
“Inilah shalat satu raka’at salam, yang dilaksanakan setiap tanggal (bulan purnama), dengan waktu tengah malam tepat :
a. Inilah niatnya, “Ushalli urip dzatullah Allahu akbar” (Aku berniat melaksanakan shalat kehidupan dzatullah, Allahu akbar).
b. Membaca surat al-Fatihah, kemudian membaca ayat dengan menyebut, “aku pan Sukma” (Aku sang pemilik Sukma).
c. Melakukan ruku’ dengan menyebut, “langgeng urip dzatullah” (Kehidupan abadi dzatullah).
d. Sujud dengan mengucapkan, “ibu bumi dzatullah”.
e.
Duduk di antara dua sujud dengan doa, “langgeng urip dzatullah tan kena
pati” (kehidupan abadi dzatullah yang tidak terkena kematian).
f. Sujud lagi dengan bacaan, “Ibu bumi dzatullah”.
g. Tahiyat dengan membaca, “Urip dzatullah”.
h. Membaca syahadat dengan bacaan, “Ashadu uripingsun lan sukma” (Ashadu kehidupanku dan Sukma).
I. Salam dengan bacaan, “Ingsun kang agung, ingsun kang memelihara kehidupan yang tidak terkena kema-tian.
j.
Membaca doa, “Allahumma papan tulis hadhdhari langgeng urip tan kena
pati” (Allahumma papan tulis segala sesuatu yang abadi hidup yang tak
pernah terkena mati).
k.
Kemudian berdoa dalam hati, “Ingsun kang agung ingsun kang wisesa suci
dhiriningsun” (ingsun yang Agung, ingsun yang memelihara, suci diriku
sendiri [ingsun]).
Dalam Islam dikenal
shalat satu raka’at, namun itu hanya sebagian dari shalat witir (shalat
penutup akhir malam dengan raka’at yang ganjil).
Shalat satu raka’at
salam dalam ajaran Syekh Siti Jenar bukanlah shalat witir, namun shalat
ngatunggal, atau shalat yang dilaksanakan dalam rangka mencapai
kemanunggalan diri dengan Gusti.
Bacaan-bacaan shalat
ngatunggal tidak semuanya memakai bahasa Arab, hanya lafazh takbir dan
al-Fatihah serta ayat-ayat yang dibaca satu madzhab fiqih Islam
sekalipun (yakni madzhab Imam Hanafi, dan di Indonesia terutama madzhab
Hasbullah Bakri), bacaan dalam shalat selain takbir dan al-Fatihah boleh
diucapkan dengan bahasa ‘ajam (selain bahasa Arab).
TIGA PULUH TUJUH
“Shalat lima kali sehari, puji dan dzikir itu adalah kebijaksanaan dalam hati menurut kehendak pribadi. Benar atau salah pribadi sendiri yang akan menerima, dengan segala keberanian yang dimiliki.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 33).
“Shalat lima kali sehari, puji dan dzikir itu adalah kebijaksanaan dalam hati menurut kehendak pribadi. Benar atau salah pribadi sendiri yang akan menerima, dengan segala keberanian yang dimiliki.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 33).
Syekh Siti Jenar
menuturkan bahwa sebenarnya shalat sehari-hari itu hanyalah bentuk tata
krama dan bukan merupakan shalat yang sesungguhnya, yakni shalat sebagai
wahana memasrahkan diri secara total kepada Allah dalam kemanunggalan.
Oleh karenanya dalam tingkatan aplikatif, pelaksanaannya hanya merupakan
kehendak masing-masing pribadi.
Demikian pula, masalah
salah dan benarnya pelaksanaan shalat yang lima waktu dan ibadah
sejenisnya, bukanlah esensi dari agama. Sehingga merupakan hal yang
tidak begitu penting untuk menjadi perhatian manusia. Namanya juga
sebatas krama, yang tentu saja masing-masing orang memiliki sudut
pandang sendiri-sendiri.
TIGA PULUH DELAPAN
“Pada waktu saya shalat, budi saya mencuri, pada waktu saya dzikir, budi saya melepaskan hati, menaruh hati kepada seseorang, kadang-kadang menginginkan keduniaan yang banyak. Lain dengan Zat Allah yang bersama diriku. Nah, saya inilah Yang Maha Suci, Zat Maulana yang nyata, yang tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dibayangkan.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 37).
“Pada waktu saya shalat, budi saya mencuri, pada waktu saya dzikir, budi saya melepaskan hati, menaruh hati kepada seseorang, kadang-kadang menginginkan keduniaan yang banyak. Lain dengan Zat Allah yang bersama diriku. Nah, saya inilah Yang Maha Suci, Zat Maulana yang nyata, yang tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dibayangkan.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 37).
Pada kritik yang
dikemukakan Syekh Siti Jenar terhadap Islam formal Walisanga tersebut,
namun jelas penolakan Syekh Siti Jenar atas model dan materi dakwah
Walisanga. Pernyataan tersebut sebenarnya berhubungan erat dengan
pernyataan-pernyataan pada point 37 diatas, dan juga pernyataan mengenai
kebohongan syari’at yang tanpa spiritualitas di bawah.
Menurut Syekh Siti Jenar, umumnya orang yang melaksanakan shalat, sebenarnya akal-budinya mencuri, yakni mencuri esensi shalat yaitu keheningan dan kejernihan busi, yang melahirkan akhlaq al-karimah. Sifat khusyu’nya shalat sebenarnya adalah letak aplikasi pesan shalat dalam kehidupan keseharian.
Menurut Syekh Siti Jenar, umumnya orang yang melaksanakan shalat, sebenarnya akal-budinya mencuri, yakni mencuri esensi shalat yaitu keheningan dan kejernihan busi, yang melahirkan akhlaq al-karimah. Sifat khusyu’nya shalat sebenarnya adalah letak aplikasi pesan shalat dalam kehidupan keseharian.
Sehingga dalam
al-Qur’an, orang yang melaksanakan shalat namun tetap memiliki sifat
riya’ dan enggan mewujudkan pesan kemanusiaan disebut mengalami celaka
dan mendapatkan siksa neraka Wail. Sebab ia melupakan makna dan tujuan
shalat (QS. Al-Ma’un/107;4-7). Sedang dalam Qs.Al-Mukminun/23; 1-11
disebutkan bahwa orang yang mendapatkan keuntungan adalah orang yang
shalatnya khusyu’. Dan shalat yang khusyu’ itu adalah shalat yang
disertai oleh akhlak berikut : (1) menghindarkan diri dari hal-hal yang
sia-sia dan tidak berguna, juga tidak menyia-siakan waktu serta tempat
dan setiap kesempatan; (2) menunaikan zakat dan sejenisnya; (3) menjaga
kehormatan diri dari tindakan nista; (4) menepati janji dan amanat serta
sumpah; (5) menjaga makna dan esensi shalat dalam kehidupannya. Mereka
itulah yang disebutkan akan mewarisi tempat tinggal abadi;
kemanunggalan.
Namun dalam aplikasi
keseharian, apa yang terjadi? Orang muslim yang melaksanakan shalat
dipaksa untuk berdiam, konsentrasi ketika melaksanakan shalat. Padahal
pesan esensialnya adalah, agar pikiran yang liar diperlihara dan
digembalakan agar tidak liar. Sebab pikiran yang liar pasti menggagalkan
pesan khusyu’ tersebut. Khusyu’ itu adalah buah dari shalat. Sedangkan
shalat hakikatnya adalah eksperimen manunggal dengan Gusti. Manunggal
itu adalah al-Islam, penyerahan diri . Sehingga doktrin manunggal bukanlah masalah paham
qadariyah atau jabariyah, fana’ atau ittihad.
Namun itu adalah inti kehidupan. Khusyu’
bukanlah latihan konsentrasi, bukan pula meditasi. Konsentrasi dan
meditasi hanya salah satu alat latihan menggembalaan pikiran. Wajar jika
Syekh Siti Jenar menyebut ajaran para wali sebagai ajaran yang telah
dipalsukan dan menyebut shalat yang diajarkan para Wali adalah model
shalatnya para pencuri.
Puasa Zakat dan Haji
TIGA PULUH SEMBILAN
“Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu. Adapun zakat dan naik haji ke Mekah, itu semua omong kosong (palson kabeh). Itu seluruhnya kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama manusia. Orang-orang dungu yg menuruti aulia, karena diberi harapan surga di kelak kemudian hari, itu sesungguhnya keduanya orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar. Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang. Sesungguhnya hal ini tidak masuk akal! Di dunia ini semua manusia adalah sama. Mereka semua mengalami suka-duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja, yaitu Gusti Zat Maulana.”.
“Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu. Adapun zakat dan naik haji ke Mekah, itu semua omong kosong (palson kabeh). Itu seluruhnya kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama manusia. Orang-orang dungu yg menuruti aulia, karena diberi harapan surga di kelak kemudian hari, itu sesungguhnya keduanya orang yang tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar. Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi tebal, kepala berbelulang. Sesungguhnya hal ini tidak masuk akal! Di dunia ini semua manusia adalah sama. Mereka semua mengalami suka-duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada beda satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja, yaitu Gusti Zat Maulana.”
Syekh Siti jenar
menyebutkan bahwa syariat yang diajarkan para wali adalah “omong kosong
belaka”, atau “wes palson kabeh”(sudah tidak ada yang asli). Tentu
istilah ini sangat amat berbeda dengan anggapan orang selama ini, yang
menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar menolak syari’at Islam. Yang ditolak
adalah reduksi atas syari’at tersebut. Syekh Siti Jenar menggunakan
istilah “iku wes palson kabeh”, yg artinya “itu sudah dipalsukan atau
dibuat palsu semua.” Tentu ini berbeda pengertiannya dengan kata “iku
palsu kabeh” atau “itu palsu semua.”
Jadi yang dikehendaki
Syekh Siti Jenar adalah penekanan bahwa syari’at Islam pada masa
Walisanga telah mengalami perubahan dan pergeseran makna dalam
pengertian syari’at itu. Semuanya hanya menjadi formalitas belaka.
Sehingga manfaat melaksanakan syariat menjadi hilang. Bahkan menjadi
mudharat karena pertentangan yang muncul dari aplikasi formal syariat
tsb.
Bagi Syekh Siti Jenar,
syariat bukan hanya pengakuan dan pelaksanaan, namun berupa penyaksian
atau kesaksian. Ini berarti dalam pelaksanaan syariat harus ada unsur
pengalaman spiritual. Nah, bila suatu ibadah telah menjadi palsu, tidak
dapat dipegangi dan hanya untuk membohongi orang lain, maka semuanya
merupakan keburukan di bumi. Apalagi sudah tidak menjadi sarana bagi
kesejahteraan hidup manusia. Ditambah lagi, justru syariat hanya menjadi
alat legitimasi kekuasaan (seperti sekarang ini juga).Yang mengajarkan
syari’at juga tidak lagi memahami makna dan manfaat syari’at itu, dan
tidak memiliki kemampuan mengajarkan aplikasi syari’at yg hidup dan
berdaya guna. Sehingga syari’at menjadi hampa makna dan menambah
gersangnya kehidupan rohani manusia.
Nah, yg dikritik Syekh
Siti Jenar adalah shalat yg sudah kehilangan makna dan tujuannya itu.
Shalat haruslah merupakan praktek nyata bagi kehidupan. Yakni shalat
sebagai bentuk ibadah yg sesuai dgn bentuk profesi kehidupannya. Orang
yg melakukan profesinya secara benar, karena Allah, maka hakikatnya ia
telah melaksanakan shalat sejati, shalat yg sebenarnya. Orientasi kepada
yang Maha Benar dan selalu berupaya mewujudkan Manunggaling Kawula
Gusti, termasuk dalam karya, karsa-cipta itulah shalat yg sesungguhnya.
Itulah pula yang menjadi rangkaian antara iman, Islam, dan Ihsan. Lalu
bagaimana posisi shalat lima waktu? Shalat lima waktu dalam hal ini
menjadi tata krama syari’at atau shalat nominal.
Makna Ihsan
EMPAT PULUH
“Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik dan menyembah atas kehendak-NYA. Tekad lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya mirip dengan pendapat yg ia lahirkan. Ia berketetapan hati untuk berkiblat dan setia, teguh dalam pendiriannya, kukuh menyucikan diri dari segala yg kotor, untuk sampai menemui ajalnya tidak menyembah kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar berpendapat dan menggangap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul yg sejati, sifat Muhammad yg kudus.”
“Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat baik dan menyembah atas kehendak-NYA. Tekad lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya mirip dengan pendapat yg ia lahirkan. Ia berketetapan hati untuk berkiblat dan setia, teguh dalam pendiriannya, kukuh menyucikan diri dari segala yg kotor, untuk sampai menemui ajalnya tidak menyembah kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar berpendapat dan menggangap dirinya bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul yg sejati, sifat Muhammad yg kudus.”
EMPAT PULUH SATU
“Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan sangat sakti, yg berkuasa maha besar, lagipula memiliki dua puluh sifat, kuasa atas kehendak-NYA. Dialah yg maha kuasa, pangkal mula segala ilmu, maha mulia, maha indah, maha sempurna, maha kuasa, rupa warna-NYA tanpa cacat seperti hamba-NYA. Di dalam raga manusia Ia tiada nampak. Ia sangat sakti menguasai segala yg terjadi dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngidraloka”.
“Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan sangat sakti, yg berkuasa maha besar, lagipula memiliki dua puluh sifat, kuasa atas kehendak-NYA. Dialah yg maha kuasa, pangkal mula segala ilmu, maha mulia, maha indah, maha sempurna, maha kuasa, rupa warna-NYA tanpa cacat seperti hamba-NYA. Di dalam raga manusia Ia tiada nampak. Ia sangat sakti menguasai segala yg terjadi dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngidraloka”.
Dua kutipan di atas adalah aplikasi dari
teologi Ihsan menurut Syekh Siti Jenar, bahwa sifatullah merupakan
sifatun-nafs. Ihsan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam salah satu
hadistnya (Sahih Bukhari, I;6), beribadah karena Allah dgn kondisi si
‘Abid dalam keadaan menyaksikan (melihat langsung) langsung adanya si
Ma’bud. Hanya sikap inilah yg akan mampu membentuk kepribadian yg
kokoh-kuat, istiqamah, sabar dan tidak mudah menyerah dalam menyerukan
kebenaran.
Sebab Syekh Siti Jenar
merasa, hanya Sang Wujud yg mendapatkan haq untuk dilayani, bukan
selain-NYA. Sehingga, dgn kata lain, Ihsan dalam aplikasinya atas
pernyataan Rasulullah adalah membumikan sifatullah dan sifatu-Muhammad
menjadi sifat pribadi.
Dengan memiliki sifat
Muhammad itulah, ia akan mampu berdiri kokoh menyerukan ajarannya dan
memaklumkan pengalamannya dalam “menyaksikan langsung” ada-NYA Allah.
“Persaksian langsung” itulah terjadi dalam proses manunggal.
EMPAT PULUH DUA
“Bonang, kamu mengundang saya datang di Demak. Saya malas untuk Datang, sebab saya merasa tidak di bawah atau diperintah oleh siapapun, kecuali oleh hati saya. Perintah hati itu yang saya turutinya, selain itu tidak ada yang saya patuhi perintahnya. Bukankah kita sesama mayat? Mengapa seseorang memerintah orang lain? Manusia itu sama satu dengan yang lain, sama-sama tidak mengetahui siapa Hyang Sukma itu. Yang disembah itu hanya nama-Nya saja. Meskipun demikian ia bersikap sombong, dan merasa berkuasa memerintah sesama bangkai.”.
“Bonang, kamu mengundang saya datang di Demak. Saya malas untuk Datang, sebab saya merasa tidak di bawah atau diperintah oleh siapapun, kecuali oleh hati saya. Perintah hati itu yang saya turutinya, selain itu tidak ada yang saya patuhi perintahnya. Bukankah kita sesama mayat? Mengapa seseorang memerintah orang lain? Manusia itu sama satu dengan yang lain, sama-sama tidak mengetahui siapa Hyang Sukma itu. Yang disembah itu hanya nama-Nya saja. Meskipun demikian ia bersikap sombong, dan merasa berkuasa memerintah sesama bangkai.”
Ihsan berasal dari
kondisi hati yg bersih. Dan hati yg bersih adalah pangkal serta cermin
seluruh eksistensi manusia di bumi. Keihsanan melahirkan ketegasan sikap
dan menentang ketundukan membabi-buta kepada makhluk. Ukuran ketundukan
hati adalah Allah atau Sang Pribadi. Oleh karena itu, sesama manusia
dan makhluk saling memiliki kemerdekaan dan kebebasan diri. Dan
kebebasan serta kemerdekaan itu sifatnya pasti membawa kepada kemajuan
dan peradaban manusia, serta tatanan masyarakat yg baik, sebab
diletakkan atas landasan Ke-Ilahian manusia. Penjajahan atas eksistensi
manusia lain hakikatnya adalah bentuk dari ketidaktahuan manusia akan
Hyang Widhi…Allah (seperti Rosul sering sekali mengatakan bahwa
“Sesungguhnya mereka tidak mengerti”).
Karena buta terhadap
Allah Yang Maha Hadir bagi manusia itulah, maka manusia sering
membabi-buta merampas kemanusiaan orang lain. Dan hal ini sangat
ditentang oleh Syekh Siti Jenar. Termasuk upaya sakralisasi kekuasaan
Kerajaan Demak dan Sultannya, bagi Syekh Siti Jenar harus ditentang,
sebab akan menjadi akibat tergerusnya ke-Ilahian ke dalam kedzaliman
manusia yang mengatasnamakan hamba Allah yg shalih dan mengatasnamakan
demi penegakan syari’at Islam.
EMPAT PULUH TIGA
“Hyang Widi, wujud yg tak nampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya mempunyai wujud, seperti penampakan raga yg tiada tampak. Warnanya melambangkan keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau teja, halus, lurus terus-menerus, menggambarkan kenyataan tiada berdusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat dahulu yg meniadakan permulaan, karena asal dari diri pribadi.”
“Hyang Widi, wujud yg tak nampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya mempunyai wujud, seperti penampakan raga yg tiada tampak. Warnanya melambangkan keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau teja, halus, lurus terus-menerus, menggambarkan kenyataan tiada berdusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat dahulu yg meniadakan permulaan, karena asal dari diri pribadi.”
Pribadi adalah pancaran
roh, sebagai tajalli atau pengejawantahan Tuhan. Dan itu hanya terwujud
dengan proses wujudiyah, Manuggaling Kawula-Gusti, sebagai puncak dan
substansi tauhid. Maka manusia merupakan wujud dari sifat dan dzat Hyang
Widi itu sendiri. Dengan manusia yg manunggal itulah maka akan
menjadikan keselamatan yg nyata bukan keselamatan dan ketentraman atau
kesejahteraan yg dibuat oleh rekayasa manusia, berdasarkan ukurannya
sendiri. Namun keselamatan itu adalah efek bagi terejawantah-NYA Allah
melalui kehadiran manusia.
Sehingga proses
terjadinya keselamatan dan kesejahteraan manusia berlangsung secara
natural (sunnatullah), bukan karena hasil sublimasi manusia, baik
melalui kebijakan ekonomi, politik, rekayasa sosial dan semacamnya
sebagaimana selama ini terjadi.
Maka dapat diketahui
bahwa teologi Manuggaling Kawula Gusti adalah teologi bumi yg lahir
dengan sendirinya sebagai sunnatullah. Sehingga ketika manusia
mengaplikasikannya, akan menghasilkan manfaat yg natural juga dan tentu
pelecehan serta perbudakan kemanusiaan tidak akan terjadi, sifat merasa
ingin menguasai, sifat ingin mencari kekuasaan, memperebutkan sesama
manusia tidak akan terjadi. Dan tentu saja pertentangan antar manusia
sebagai akibat perbedaan paham keagamaan, perbedaan agama dan sejenisnya
juga pasti tidak akan terjadi.
EMPAT PULUH EMPAT
“Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah Allah, kang murba amisesa.”.
“Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah Allah, kang murba amisesa.”
Pernyataan Syekh Siti
Jenar di atas sengaja penulis nukilkan dalam bahasa aslinya, dikarenakan
multi-interpretasi yang dapat muncul dari mutiara ucapan tersebut.
Secara garis besar maknanya adalah, “Pernyataan roh, yang
bertemu-hadapan dengan Allah, yang menyembah Allah, yang disembah Allah,
yang meliputi segala sesuatu.”
Inilah adalah salah
satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar yang maksudnya adalah
sukma (roh di kedalaman jiwa) sebagai pusat kalam (pembicaraan dan
ajaran). Hal itu diakibatkan karena di kedalaman roh batin manusia
tersedia cermin yang disebut mir’ah al-haya’ (cermin yang memalukan).
Bagi orang yang sudah bisa mengendalikan hawa nafsunya serta mencapai
fana’ cermin tersebut akan muncul, yang menampakkan kediriannya dengan
segala perbuatan tercelanya. Jika ini telah terbuka maka tirai-tirai
rohani juga akan tersingkap, sehingga kesejatian dirinya beradu-satu
(adhep-idhep), “aku ini kau, tapi kau aku”. Maka jadilah dia yang
menyembah sekaligus yang disembah, sehingga dirinya sebagai kawula-Gusti
memiliki wewenang murba amisesa, memberi keputusan apapun tentang
dirinya, menyatu iradah dan kodrat kawula-Gusti.
EMPAT PULUH LIMA
“Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman yang jika sudah diminta oleh yang empunya, akan menjadi tanah dan membusuk, hancurlebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur, dan seringkali tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya. Kalau sudah sampai sedemikian jauhnya, baru orang menyesalkan perbuatannya.”.
“Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera. Pancaindera ini merupakan barang pinjaman yang jika sudah diminta oleh yang empunya, akan menjadi tanah dan membusuk, hancurlebur bersifat najis. Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur, dan seringkali tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga menodai nama dan citranya. Kalau sudah sampai sedemikian jauhnya, baru orang menyesalkan perbuatannya.”
Menurut Syekh Siti
Jenar, baik pancaindera maupun perangkat akal tidak dapat dijadikan
pegangan dan pedoman hidup. Sebab semua itu bersifat baru, bukan azali.
Satu-satunya yang bisa dijadikan gondhelan dan gandhulan hanyalah Zat
Wajibul Maulana, Zat Yang Maha Melindungi. Pancaindera adalah pintu
nafsu, dan akal adalah pintu bagi ego. Semuanya harus ditundukkan di
bawah Zat Yang Wajib Memimpin.
Karena itu Dialah yang
menunjukkan semua budi baik. Jadi pencaindera harus dibimbing oleh budi
dan budi dipimpin oleh Sang Penguasa Budi atau Yang Maha Budi.
Sedangkan Yang Maha
Budi itu tidak terikat dalam jeratan dan jebakan nama tertentu. Sebab
nama bukanlah hakikat. Nama itu bisa Allah, Hyang Widhi, Hyang Manon,
Sang Wajibul Maulana, dan sebagainya. Semua itu produk akal sehingga
nama tidak perlu disembah. Jebakan nama dalam syari’at justru malah
merendahkan Nama-Nya.
EMPAT PULUH LIMA
“Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, sungsum, bisa rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya? Biarpun bersembahyang seribu kali setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya menjadi debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para Wali dapat membawa pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat tatanan baru, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yang artinya tidak membuat sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah dia membuat dunia.”.
“Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, sungsum, bisa rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya? Biarpun bersembahyang seribu kali setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya menjadi debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para Wali dapat membawa pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat tatanan baru, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yang artinya tidak membuat sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah dia membuat dunia.”
Dari pernyataan Syekh
Siti Jenar tersebut, nampak bahwa Syekh Siti Jenar memandang alam
semesta sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos (manusia).
Sekurangnya kedua hal itu merupakan barang baru ciptaan Tuhan yang
sama-sama akan mengalami kerusakan, tidak kekal dan tidak abadi.
Pada sisi yang lain,
pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut juga memiliki muatan makna
pernyataan sufistik, “Barangsiapa mengnal dirinya, maka ia pasti
mengenal Tuhannya.” Sebab bagi Syekh Siti Jenar, manusia yang utuh dalam
jiwa raganya merupakan wadag bagi penyanda, termasuk wahana penyanda
alam semesta. Itulah sebabnya pengelolaan alam semesta menjadi
tanggungjawab manusia. Maka, mikrokosmos manusia tidak lain adalah
blueprint dan gambaran adanya jagat besar termasuk semesta.
Bagi Syekh Siti Jenar,
manusia terdiri dari jiwa dan raga yang intinya ialah jiwa sebagai
penjelmaan dzat Tuhan (sang Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk luar
dari jiwa yang dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti
daging, otot, darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan
adalah barang pinjaman yang suatu saat setelah manusia terlepas dari
pengalaman kematian di dunia ini, akan kembali berubah menjadi tanah.
Sedangkan rohnya yang menjadi tajalli Ilahi, manunggal ke dalam
keabadian dengan Allah.
Manusia tidak lain
adalah ke-Esa-an dalam af’al Allah. Tentu ke-Esa-an bukan sekedar af’al,
sebab af’al digerakkan oleh dzat. Sehingga af’al yang menyatu
menunjukkan adanya ke-Esa-an dzat, ke mana af’al itu dipancarkan.
EMPAT PULUH LIMA
“Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya adalah af’al (perbuatan) Allah. Berbagai hal yang dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi keliru dan sesat pandangan yang mengatakan bahwa yang baik dari Allah dan yang buruk selain Allah.” “…Af’al Allah harus dipahami dari dalam dan luar diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya, di situlah terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati yang dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-Nya, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di situlah berlaku dalil Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malun (QS. Ash-Shaffat:96), yang maknanya Allah yang menciptakan engkau dan segala apa yang engkau perbuat. Di sini terkandung makna mubasyarah. Perbuatan yang terlahir dari itu disebut al-tawallud. Misalnya saya melempar batu. Batu yang terlempar dari tangan saya itu adalah berdasar kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil Wa ma ramaitaidz ramaita walakinna Allaha rama (QS. Al-Anfal:17), maksudnya bukanlah engkau yang melempar, melainkan Allah jua yang melempar ketika engkau melempar. Namun pada hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni af’al Allah sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi al-adzimi. Rasulullah bersabda la tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi, yang maksudnya tidak bergerak satu dzarah pun melainkan atas izin Allah.”.
EMPAT PULUH DELAPAN“Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya adalah af’al (perbuatan) Allah. Berbagai hal yang dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi keliru dan sesat pandangan yang mengatakan bahwa yang baik dari Allah dan yang buruk selain Allah.” “…Af’al Allah harus dipahami dari dalam dan luar diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya, di situlah terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati yang dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-Nya, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di situlah berlaku dalil Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malun (QS. Ash-Shaffat:96), yang maknanya Allah yang menciptakan engkau dan segala apa yang engkau perbuat. Di sini terkandung makna mubasyarah. Perbuatan yang terlahir dari itu disebut al-tawallud. Misalnya saya melempar batu. Batu yang terlempar dari tangan saya itu adalah berdasar kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil Wa ma ramaitaidz ramaita walakinna Allaha rama (QS. Al-Anfal:17), maksudnya bukanlah engkau yang melempar, melainkan Allah jua yang melempar ketika engkau melempar. Namun pada hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni af’al Allah sehingga berlaku dalil la haula wa la quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi al-adzimi. Rasulullah bersabda la tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi, yang maksudnya tidak bergerak satu dzarah pun melainkan atas izin Allah.”
Menurut Syekh Siti Jenar, bahwa al-Fatihah adalah termasuk salah satu kunci sahnya orang yang menjalani laku manunggal (ngibadah). Maka seseorang wajib mengetahui makna mistik surat al-Fatihah. Sebab menurut Syekh Siti Jenar, lafal al-Fatihah disebut lafal yang paling tua dari seluruh sabda-Sukma. Inilah tafsir mistik al-Fatihah Syekh Siti Jenar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar